Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Di Balik Trauma yang Membeku

👤 I Gusti Ngurah Agung Perama Ugra Sena 🏫 XI-11 🆔 25587

 “Char, bisa tolong bantu aku gak?”

Ini adalah kali kelima Charles dihantui pertanyaan membosankan dari seorang teman kelasnya. Namanya Davina, gadis periang yang sangat mengganggu hidup Charles. Entah dari mana asalnya, yang Charles tahu gadis ini merupakan murid pindahan. Charles tak begitu peduli akan keberadaan wanita di sekelilingnya.

“Gak bisa, cari orang lain aja,” jawab Charles, datar.

Charles bukan ketus, lelaki rambut ikal ini hanya tak ingin mengulang trauma masa lalunya. Memori kelam itu selalu muncul tiap kali mendengar Davina membuka suaranya. Namun Davina tetaplah Davina, pantang menyerah meski Charles telah memasang raut wajah benci padanya.

"Ih, galak banget! Padahal udah minta tolong baik baik, nanti aku beliin kopi kesukaanmu!" Davina terkekeh, memasang wajah memelas dengan nada yang diimut-imutkan.

Charles tidak menggubris. Ia berjalan keluar kelas, meninggalkan Davina yang masih berdiri di tempat semula dengan mata berbinarnya. Penuh harap akan bantuan dari Charles.

“Aku aja yang bantu gimana, Dav?” ucap Jefri, sahabat Charles yang terkenal jenaka, tak ingin melewatkan kesempatan.

“Apa sih, orang aku maunya Charles, bukan kamu!” Davina mendengus kesal.

Charles memang dingin, tapi bukan berarti ia tak pernah merasakan jatuh cinta. Namun perihal Davina, Charles merasa tak ada magnet yang mampu menariknya untuk mengenal gadis berambut hitam panjang ini lebih jauh. Bagi Charles, Davina terlalu riang, terlalu berisik, terlalu banyak tertawa, dan terlalu... terlalu. Akhir-akhir ini mereka sering bertemu karena memilih extrakurikuler yang sama. Setiap Davina datang, Charles akan mencari alasan untuk menghindar.

Esok hari, Davina kembali menjalankan rutinitasnya. Apalagi kalau bukan mengganggu Charles.

“Char, bisa tolong bantu aku kirim berkas ini ke ruang guru gak?” pinta Davina seraya menyodorkan sebuah map hijau berisikan tugas Bahasa Indonesia dari Bu Elsi.

Satu. Dua. Tiga. Hening. Charles diam mematung. Perhatiannya hanya tertuju pada layar gawai di hadapannya.

“Charles..” Davina merengek sambil menggoyang-goyangkan tubuh Charles.

Charles masih belum berkutik. Jefri turut terdiam, ia paham betul keadaan temannya itu.

“Davina, Charles lagi ga pengen diganggu. Kasih dia waktu sendiri dulu ya?” ujar Jefri, lembut.

Davina mengangguk kecil. Air wajahnya tak dapat berbohong. Ia sedih, namun apa boleh buat? Perjuangan Davina memenangkan hati Charles selalu saja berakhir menyedihkan. Gadis ini tak pernah disambut hangat oleh Charles. Entah apa yang disukai oleh Davina akan pria gunung es ini, namun di mata Davina, Charles begitu memikat hatinya.

Davina beranjak pergi dari hadapan Charles dan Jefri. Menyisakan mereka berdua di pojok ruang kelas. Teman-teman lain sudah lebih dulu pulang, hanya ada pelajaran Bahasa Indonesia dan matematika wajib hari ini.

“Char, kamu masih trauma ya soal Karina?” Jefri mulai membuka suara.

“Hem..” Charles mengangguk pelan. “Aku salah ya Jef ke Davina?” Charles mulai berpikir dua kali akan sikapnya.

“Gak salah kok, wajar banget. Gak semua orang gampang menghapus traumanya, apalagi tentang orang yang dia sayang,” Jefri menenangkan. “Tapi gak ada salahnya juga kalau kamu bersikap baik ke Davina, Char. Davina cewe yang baik. Dia ceria, mungkin bisa bantu kamu ngelupain Karina. Itupun kalau kamu sudah berdamai sama dirimu sendiri,”

Charles mencerna kalimat Jefri dalam-dalam. Seraya mengangguk, Charles menjawab, “Tapi aku gak tau bisa bantu dia atau engga..”.

Entah sejak kapan, gunung es yang menyelimuti Charles kian mencair. Mungkin saat Davina menangis karena kucingnya hilang dan Charles tanpa sadar menemaninya mencari hingga larut malam. Mungkin saat Davina membawa sekotak martabak manis hanya untuknya, dengan topping cokelat kacang favorit Charles. Atau mungkin karena….. bahkan Charles tidak mengerti apa yang terjadi.

Kini Charles menjadi seorang kolektor momen. Ia mengumpulkan senyum-senyum kecil, tatapan sekilas, dan cara-cara sederhana yang dilakukan Davina. Semua itu ia simpan dalam sebuah galeri di hatinya, galeri yang ia kunjungi setiap malam sebelum tidur, dan setiap pagi saat membuka mata. Tawa Davina yang dulu dianggapnya mengganggu, kini terdengar merdu. Gerak-geriknya yang ceroboh, kini terlihat menggemaskan. Charles mulai menyadari, dia tidak lagi menghindar, malah mulai mencari-cari Davina. Hati Charles dipenuhi kebingungan. Bagaimana mungkin dia yang bersumpah tidak akan pernah terjerat, kini merasakan desakan aneh untuk lebih dekat.

Sore itu, mereka berdua dalam perjalanan pulang dari sekolah, berjalan kaki karena hujan rintik-rintik. Rintik itu tiba-tiba berubah menjadi badai deras. Tanpa aba-aba, Davina menarik tangan Charles, menyeretnya berteduh di bawah kanopi toko yang sempit.

"Basah kuyup, deh!" Davina tertawa sambil menyibakkan rambutnya yang basah.

Charles menatapnya. Rambut Davina menempel di dahi, air hujan membasahi hoodie cokelatnya, tapi matanya bersinar bahagia. Di bawah cahaya lampu jalan yang buram, Davina terlihat... indah. Charles merasakan jantungnya berdebar kencang, menenggelamkan suara hujan.

Saat itu, dia tahu. Dia jatuh cinta pada wanita yang awalnya semula tidak dia sukai.

Tapi keraguan besar menyergapnya. Apakah Charles pantas untuknya? Davina begitu cerah, seperti sinar matahari. Sementara Charles, dia hanyalah awan kelabu. Dia takut perasaannya hanya akan meredupkan cahaya Davina.

Minggu pagi, mentari terbit lebih cerah dari biasanya. Namun Charles masih terus bergelut dengan pikirannya. Pantaskah ia untuk Davina? Trauma akan Karina terus menari dalam pikiran Charles. Ia takut hal yang sama terjadi pada Davina. Charles tidak ingin kembali kehilangan cintanya akibat ketidakbecusan dirinya sendiri.

Di tengah pikirannya yang berkecamuk, Charles ingat Davina pernah menyebut sebuah tempat wisata dekat rumahnya. Pantai Geger. Charles pergi ke sana, berharap keindahan alam bisa menjernihkan pikirannya. Perjalanan ke Pantai Geger adalah sebuah perjuangan. Jalan setapaknya curam dan licin oleh sisa hujan kemarin. Rerumputan liar tumbuh lebih tinggi dari papan penunjuk jalan yang sudah pudar. Charles mulai ragu, tapi ia terus berjalan.

Ketika ia sampai di pantai, Charles duduk di sebuah bangku kayu lapuk yang masih utuh, merasakan angin meniupkan kekecewaan ke wajahnya. Bagaimana tidak, Pantai Gelogor jauh dari ekspektasinya. Pantai ini seolah menggambarkan isi kepala dan isi hati Charles yang tengah gundah gulana. Ia merasa bodoh. Ia mencari inspirasi di tempat yang salah. Seluruh perjalanannya terasa sia-sia.

"Kayaknya kamu tersesat deh."

Suara itu membuat Charles terkejut. Davina berdiri beberapa meter darinya, mengenakan hoodie cokelat yang kebesaran.

"Davina? Ngapain kamu disini?" tanya Charles, panik dan malu karena ketahuan berada di tempat ini.

"Lah, aku yang harusnya nanya," kata Davina, berjalan pelan mendekat. Ia tidak terlihat terkejut melihat Charles. "Aku sering ke sini tiap libur sekolah. Merawat apa yang tersisa."

Ia duduk di samping Charles, tapi menjaga jarak. Matanya memandang lurus ke depan, ke arah bangkitnya matahari.

"Jadi," Davina memulai, suaranya pelan. "Apa yang membuatmu datang kesini?"

Charles menarik napas dalam-dalam. Inilah kesempatannya. Ia ingin jujur, tak ingin Davina terus menaruh harapan padanya.

"Dua tahun lalu, aku kehilangan cinta pertamaku di pantai. Suasananya persis kayak gini. Angin semilir, ombak nampak pasang, namun orang-orang asyik bermain air,” Charles bercerita.

Sorot mata Davina mulai meredup. Ada rasa rindu yang amat sangat tergambar dari cerita Charles akan mantan kekasihnya. Charles masih belum move on, pikirnya.

Charles kembali melanjutkan cerita. “Ada banyak kata ‘tolong’ yang diucapkan Karina, mantanku, saat itu. Tapi aku gabisa bantu dia”.

“Maksud kamu?” Davina mengernyitkan dahi.

“Iya.. Karina dulu minta tolong untuk fotoin dia yang lagi asyik ngumpulin kerang agak ke tengah pantai. Tapi aku bilang gak bisa, aku sibuk menyiapkan tikar untuk kami duduk” suara Charles mulai parau.

“Dia juga minta tolong untuk bantu masukin kerang favoritnya ke dalam botol yang kami bawa. Lagi-lagi, aku menunda permintaannya. Aku masih sibuk menata makanan yang kami bawa di atas tikar. Sampai akhirnya, kaki Karina seketika keram, dan aku terlambat menyadari kalau dia butuh bantuanku. Air tiba-tiba pasang, dan Karina ikut tergulung ombak akibat kakinya yang tidak mampu beranjak ke tepian. Aku udah berusaha lari, tapi kamu tahu? Bantuanku justru semakin membuat Karina dalam bahaya. Aku melempar sebuah batang pohon lapuk besar ke arahnya, berharap bisa dijadikan pelampung darurat. Tapi…” suara Charles tercekat.

Davina hanya mampu terdiam, sambil mengusap bahu lebar Charles.

“Kayu itu justru membuat Karina semakin jauh dari tepian. Bodoh ya aku? Bantuanku bener-bener ga berguna, bahkan di saat hari terakhirnya di dunia”. Setetes air mata mengalir dari matanya.

“Jadi ini trauma yang kamu maksud? Yang buat kamu ga pernah mau bantu aku?” tanya Davina.

“Maaf Dav.. aku belum bisa maafin diriku sendiri. Aku takut bantuanku justru nyelakain orang lain..”

Davina menarik wajah Charles untuk bersandar di pundaknya. Membiarkan Charles melepaskan tangis yang ia tahan sedari tadi.

“Char, semua bantuan itu gaada yang sia-sia. Kamu udah berani bertindak itu udah lebih dari hebat, Char. Gak semua orang berani bergerak cepat di situasi panik kayak gitu. Mungkin memang takdir berjalan seperti ini, jangan salahin diri kamu terus ya? Kita doakan Karina dapat tempat yang baik di surga, ya.”

Charles termenung, mencerna kata-kata Davina. Pola pikir bijaknya kian membuat Charles jatuh hati semakin dalam. Davina adalah wanita yang ia cari selama ini. Wanita yang mampu menyembuhkan trauma itu.

Charles menutup matanya, membiarkan angin pantai menyapu wajahnya yang masih basah oleh air mata. Untuk pertama kalinya setelah begitu lama, dadanya terasa sedikit lebih ringan. Seolah beban yang menenggelamkannya perlahan terangkat oleh kehadiran Davina di sampingnya.

“Dav…” suara Charles bergetar pelan. “Kalau suatu hari aku mencoba bantu kamu lagi… kamu bakal percaya sama aku?”

Davina tersenyum, bukan senyum ceria khas dirinya, melainkan senyum lembut yang penuh pengertian. “Aku selalu percaya sama kamu, Char. Dari dulu.”

Ucapan itu menghangatkan hati Charles lebih dari sinar matahari pagi. Dalam tatapan Davina, ia melihat kesempatan kedua—bukan untuk menggantikan Karina, tapi untuk berdamai dengan dirinya sendiri.

Untuk pertama kalinya, Charles akhirnya berani menggenggam tangan Davina.

Dan genggaman itu terasa… benar.