Suara di balik surat
Pada suatu pagi di bulan September, ketika embun masih menggantung di ujung dedaunan dan udara masih terasa lembap oleh sisa hujan semalam, suara dentuman meriam tiba-tiba mengguncang keheningan. Suara itu begitu keras hingga membuat burung-burung yang sedang bertengger di atap rumah berhamburan pergi. Milan, gadis kecil berusia enam tahun, sontak menutup kedua telinganya. Namun rasa takut itu tak mampu menahan rasa penasarannya. Dengan langkah kecil dan hati-hati, ia berjalan menuju pintu kayu yang terbuka sedikit, lalu mengintip dari celah sempit itu.
Di ruang depan, ayah dan ibunya sedang berbicara dengan suara yang tak terlalu keras, tetapi cukup tegang hingga Milan bisa merasakan kecemasan itu merayap di kulitnya. Ayahnya mengenakan mantel tipis berwarna hijau kusam, mantel yang selalu ia pakai setiap kali berangkat bertugas. Tangan ibunya menggenggam ujung mantel tersebut—erat, seolah enggan melepaskannya.
“Sayang,” ujar ayahnya dengan suara parau, “kalau aku tidak kembali, jangan tangisi kepergianku. Lebih baik mati dengan kehormatan daripada hidup berlutut.”
Milan tak sepenuhnya memahami arti kata-kata itu. Namun ada sesuatu dalam nada suara ayahnya—sesuatu yang membuat dadanya terasa berat, seperti ada beban besar yang baru saja diletakkan di atas hatinya yang masih kecil. Ia merasakan firasat yang tidak ia mengerti, firasat tentang kehilangan.
Ayahnya kemudian memeluk ibunya, dan Milan dapat melihat jelas bagaimana bibir ibunya bergetar menahan tangis. Mereka berdua saling memeluk lama seolah waktu bisa berhenti hanya dengan saling merengkuh. Milan mundur selangkah, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak pernah melihat ibunya sesedih ini.
Ketika ayahnya hendak melangkah pergi, Milan, tanpa memikirkan apa-apa, berlari kecil dan berdiri tepat di depan pintu.
“Ayah…” gumamnya lirih, “kenapa orang dewasa harus saling menyakiti?”
Pertanyaan itu menghentikan langkah ayahnya. Ia berjongkok, menatap anak perempuannya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Orang dewasa bertarung bukan karena mereka ingin menyakiti orang lain,” jawabnya dengan nada hampir bergetar, “tapi karena mereka ingin melindungi orang yang mereka cintai.”
Ia mengusap kepala Milan lembut. “Ayah berharap suatu hari nanti dunia tidak lagi membuat anak-anak harus menanyakan hal seperti itu.”
Itulah kata-kata terakhir yang ia ucapkan sebelum benar-benar pergi.
Sejak hari itu, dunia Milan berubah drastis. Suara tawa ayahnya yang biasanya memenuhi rumah kini hanya menjadi gema samar di ingatannya. Rumah kecil itu terasa kosong, sepi, seperti kehilangan nyawanya sendiri. Ibunya masih mencoba menjalani hari seperti biasa, tetapi Milan tahu sesuatu dalam diri ibunya telah retak.
Kadang Milan melihat ibunya menatap pakaian ayah yang tergantung di dinding. Pakaian itu kini tampak seperti bayangan masa lalu yang enggan pergi. Ibu menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Milan selalu ingin memeluk ibunya saat itu, tetapi ia takut menyentuh luka yang tak terlihat itu. Kadang, di malam hari, Milan terbangun karena mendengar suara isak tertahan dari kamar sebelah. Suara itu membuat dadanya terasa perih. Ia pun menarik selimutnya lebih rapat, mencoba menghangatkan tubuh kecilnya sekaligus menenangkan hatinya.
Hari demi hari berlalu, tetapi ayahnya tak kunjung pulang. Bulan berganti, musim berubah, namun kursi kayu di sudut ruang tamu tempat ayah biasa duduk tetap kosong.
Sampai suatu pagi, ketika matahari baru mulai menyinari bumi dan langit masih pucat karena tertutup asap sisa peperangan di kejauhan, Milan duduk di tangga rumah sambil memeluk boneka lusuh pemberian ayahnya. Boneka itu adalah satu-satunya benda yang membuatnya merasa ayahnya masih dekat. Ia menatap ibunya yang sedang berdiri di dekat pintu. Ketika seseorang mengetuk dari luar, ibunya membuka pintu dengan sedikit ragu.
Dua pria berdiri di sana. Wajah mereka kotor, pakaian mereka compang-camping dan lusuh. Mereka memakai seragam yang sama seperti ayahnya. Kepala mereka tertunduk, seakan tak berani menatap ibunya.
Salah satu dari mereka membawa gulungan kain berwarna cokelat kemerahan. Ia menyerahkannya tanpa sepatah kata. Ibunya menerima kain itu dengan tangan gemetar. Ketika ia membuka sedikit ujungnya, bau darah menyengat langsung menyeruak. Ibu mengatupkan bibirnya rapat-rapat, mencoba menahan suara tangis yang hampir pecah.
Tanpa mengatakan apa pun, ibunya memeluk kain itu erat-erat, seolah kain itu adalah harta paling berharga di dunia. Milan yang melihat dari jauh bingung dan bertanya-tanya, “Kenapa ibu memeluk kain itu?”
Ia belum mengerti bahwa di dalam gulungan kain itu, tersimpan kepingan terakhir keberadaan ayahnya.
Setelah hari itu, ibunya berubah. Sangat berubah. Ia semakin jarang makan, tubuhnya makin kurus, wajahnya makin pucat. Milan kecil, yang bahkan belum mengerti cara menata hidupnya sendiri, harus belajar mengurus ibunya yang kini sering sakit. Ia memasak seadanya, menyiapkan air hangat, mengelap keringat ibunya ketika demam tinggi, meskipun sebenarnya ia sendiri takut dan bingung.
Waktu terus berjalan. Hari-hari yang dulu terasa panjang kini terasa singkat; tahun demi tahun berlalu seakan waktu melesat tanpa ampun.
Ketika Milan menginjak usia enam belas tahun, ia akhirnya memahami segalanya. Semua pertanyaan yang dulu ia pendam kini memiliki jawaban nyata: ayahnya tidak akan pernah kembali. Ayahnya telah pergi sejak hari kain itu diberikan—sudah lama, bahkan sebelum ia benar-benar memahami arti kata “kehilangan”.
Namun Milan belajar menerima kenyataan itu. Ia tumbuh menjadi gadis yang kuat, meski hatinya pernah terluka begitu dalam. Ia berusaha menjalani hidup seperti biasa, membantu ibunya, bekerja, dan tetap menjalani hari meski terkadang bayangan ayahnya muncul dalam mimpinya.
Hingga suatu sore, ketika sedang membersihkan rak buku yang penuh debu, Milan menemukan sebuah album foto lama. Sampulnya sudah memudar, warnanya hampir tak terlihat. Di sela-sela halaman album itu, ia menemukan selembar kertas kusut—surat yang dulu pernah diberikan ayahnya ketika ia masih kecil. Surat itu dulu tidak diizinkan untuk dibaca oleh ayahnya, dan Milan sempat melupakannya.
Tangannya bergetar ketika membuka lipatan kertas itu. Tulisan tangan ayahnya yang tegas namun sedikit miring memenuhi halaman. Perlahan, ia mulai membaca.
Setiap kalimat terasa seperti suara ayahnya sendiri yang berbicara kepadanya. Ia bisa merasakan kehangatan ayahnya dari setiap kata, seolah ayahnya hadir kembali menemaninya dalam ruangan kecil itu. Semakin lama ia membaca, semakin kabur tulisannya karena matanya dipenuhi air mata. Ia membaca surat itu lagi dan lagi, seakan takut melepaskannya.
Namun sekeras apa pun ia mencoba menahan waktu, ia tahu satu hal: ayahnya tidak akan pernah benar-benar kembali. Sosoknya hanya hidup dalam kenangan, dalam boneka lusuh yang terus ia simpan, dalam album foto yang warnanya memudar, dan dalam surat yang kini sudah hampir sobek.
Tetapi sesuatu berubah dalam diri Milan hari itu. Ada rasa hangat baru lahir dalam dirinya. Ia menyadari bahwa meski ayahnya telah tiada, cinta ayahnya tidak pernah hilang. Cinta itu melekat di setiap kenangan, di setiap langkah yang ia ambil, dan di setiap keputusan untuk terus bertahan.
Untuk pertama kalinya sejak lama, Milan tidak hanya merasakan kehilangan… tetapi juga merasakan kehadiran yang berbeda—kehadiran yang tidak terlihat, tetapi begitu nyata.
Dan hari itu, Milan menutup album foto dengan sebuah senyum kecil. Senyum yang mengandung rasa sakit, tapi juga kekuatan. Senyum dari seseorang yang akhirnya bisa menerima bahwa cinta tidak selalu hadir dalam bentuk kehadiran fisik.
Terkadang, cinta tetap hidup meskipun pemiliknya telah tiada. ia juga mengubah kebiasaan dirinya. Ia mulai membiasakan diri bangun lebih pagi dari biasanya. Ia menyapu halaman, merapikan dapur, dan menyalakan tungku seperti dulu ayahnya lakukan. Pada mulanya gerakan itu terasa kaku, tetapi lama kelamaan ia menemukan ritmenya sendiri. Ada rasa menghangat setiap kali ia melakukan hal yang dulu ayahnya kerjakan. Seakan-akan ia sedang melanjutkan sesuatu yang belum sempat ayahnya selesaikan.
Suatu pagi, ketika kabut masih menggantung rendah di antara pepohonan, Milan membawa tuaian bunga liar yang ia petik di belakang rumah. Bunga-bunga itu ia letakkan di meja makan yang lama tak tersentuh oleh warna. Ibunya keluar dari kamar dengan langkah perlahan, matanya tampak lelah seperti biasa. Namun ketika melihat meja yang penuh bunga, ada sesuatu yang berubah di wajahnya. Bukan senyum—itu masih terlalu sulit ia berikan—tetapi ada cahaya kecil yang muncul di matanya.
Kehangatan yang hampir padam itu menyala kembali, meski hanya sedikit.
Hari berlalu. Minggu berganti bulan.
Suatu sore, Milan membuka album foto lagi. Kali ini ia tidak menangis ketika melihat wajah ayahnya—ia hanya tersenyum lirih. Ia membuka halaman demi halaman, memperhatikan bagaimana ayahnya tersenyum sambil menggendong dirinya yang masih kecil. Ada foto di mana ia duduk di bahu ayahnya sambil menunjuk langit. Di balik foto itu, tertulis tulisan tangan sang ayah:
“Untuk Milan yang selalu ingin tahu tentang dunia. Semoga kelak kau bisa melihat dunia ini lebih indah daripada ayah melihatnya.”
“Melihat dunia…” gumam Milan sambil menyusuri huruf-huruf itu dengan jarinya. “Apakah ayah ingin aku pergi dari desa ini suatu hari nanti?”
Ia menutup album itu dan memandang ke luar jendela. Desa itu kini tidak lagi sama seperti dulu. Asap dari pertempuran masih terlihat di kejauhan. Orang-orang berjalan dengan kepala tertunduk, membawa beban kehilangan masing-masing. Rumah-rumah banyak yang kosong, pintunya tidak terkunci, jendelanya terbuka ditiup angin.
Milan menghela napas panjang. Hatinyalah yang sebenarnya paling berubah.
Suatu hari, ibunya memanggil Milan dengan suara yang sedikit bergetar. Milan segera datang ke kamar ibunya dan menemukan ibunya duduk sambil memegang gulungan kain cokelat kemerahan. Kain yang dulu ia peluk sambil menangis.
“Nak,” ujar ibunya perlahan, “kain ini… sudah terlalu lama Ibu simpan.”
Milan duduk di sebelahnya, memegang tangannya.
“Ibu tidak tahu apa yang harus dilakukan dengannya,” lanjut ibunya. “Setiap kali Ibu melihatnya… rasanya seperti hari itu terulang lagi.”
Milan menghela napas pelan. “Kalau begitu… mungkin sudah waktunya kita melepaskannya, Bu.”
Ibunya memandang wajah Milan yang kini sudah begitu dewasa untuk usianya. Ada rasa bangga sekaligus sedih yang bercampur menjadi satu.
“Melepaskan tidak berarti melupakan,” kata Milan lembut. “Kita hanya membiarkan luka itu bernapas.”
Dengan tangan gemetar, ibunya menyerahkan kain itu kepada Milan. Gadis itu menerimanya dengan hati-hati, seakan memegang sesuatu yang rapuh. Mereka tidak membuka isi kain itu. Mereka tidak butuh melihatnya. Cukup dengan tahu bahwa itu adalah bagian terakhir dari ayah—bagian yang telah memberi mereka luka sekaligus kekuatan—sudah membuat mereka merasa cukup.
Kemudian, Milan dan ibunya mengubur kain itu di bawah pohon besar di halaman rumah. Pohon yang dulu sering menjadi tempat ayah beristirahat. Mereka tidak membuat nisan, tidak menandainya dengan batu. Mereka hanya membiarkan tanah itu menampung rasa kehilangan yang selama ini mereka simpan.
Saat tanah terakhir jatuh menutup gundukan kecil itu, ibunya menangis untuk pertama kalinya dengan cara yang berbeda. Tangisan itu tidak pecah, tidak penuh sesak. Tangisan itu lembut… seperti hujan yang turun setelah musim panas yang panjang—melepaskan beban yang selama ini menekan.
Sejak hari mereka mengubur kain itu, rumah menjadi sedikit lebih hangat. Tidak ada lagi ketakutan menyentuh kenangan ayah. Tidak ada lagi rasa bersalah karena berusaha bahagia.