SANG PENJAGA DETIK TERAKHIR
Sang Penjaga Detik Terakhir
Debu menari dalam pilar-pilar cahaya sore yang menembus jendela kaca Toko Jam "Waktu Kencana". Udara di dalamnya pekat, beraroma unik dari campuran minyak pelumas halus, kayu jati tua, dan logam yang berumur puluhan tahun. Di luar, jalanan utama kota menderu oleh klakson dan derap langkah tergesa-gesa. Namun di dalam toko kecil yang terjepit di antara kedai kopi modern dan butik pakaian impor itu, waktu seolah bergerak dengan ritmenya sendiri.
Ritme itu diatur oleh puluhan jam yang menggantung di dinding. Jam kakek yang berdentang khidmat setiap jamnya, jam kukuk yang menyalak riang, dan jam-jam dinding kuno dengan pendulum yang berayun sinkron. Namun, suara yang paling dominan adalah tik-tok-tik-tok pelan yang tak terhitung jumlahnya, beradu seperti ribuan bisikan konstan.
Di pusat orkestra mekanik ini duduklah Aditya, atau Pak Adit, sang pemilik. Usianya sudah kepala enam, dengan kacamata tebal bertengger di hidung dan sebuah lup—kaca pembesar khusus—tersangkut di mata kanannya. Tangannya yang keriput namun stabil dengan cekatan memanipulasi pinset di atas jeroan sebuah jam tangan perak yang terbuka.
Waktu Kencana adalah warisan ayahnya, dan sebelumnya, kakeknya. Pak Adit adalah generasi ketiga, dan sepertinya, yang terakhir.
Di seberang jalan, sebuah papan iklan digital raksasa memamerkan jam tangan pintar terbaru. "Ukur detak jantung Anda! Balas pesan instan! Lacak tidur Anda!" teriak iklan itu tanpa suara. Pak Adit mendengus pelan.
"Mainan," gumamnya pada jam tangan di hadapannya. "Mereka tidak mengukur waktu. Mereka hanya menghitung angka. Tidak ada jiwa, tidak ada jantung."
Jantung yang ia maksud adalah mainspring yang berdetak, escapement wheel yang berputar presisi, dan puluhan roda gigi mikro yang saling mengunci dalam tarian mekanis yang rumit. Baginya, setiap jam adalah organisme hidup yang ia rawat.
Namun, organisme ini sedang sekarat. Pelanggan semakin jarang. Kebanyakan orang datang untuk mengganti baterai jam kuarsa murahan. Sedikit yang masih menghargai kerumitan sebuah jam mekanik.
Bulan lalu, amplop cokelat ketiga dari pemilik ruko tiba. Surat Peringatan Terakhir. Tunggakan sewanya sudah tiga bulan. Jika akhir bulan ini ia tidak bisa melunasi, Waktu Kencana akan tinggal nama. Pak Adit mendorong surat itu ke bawah laci, di antara suku cadang bekas dan obeng-obeng kecil. Ia menolak untuk memikirkannya. Masih ada jam yang harus diperbaiki.
Sore itu, lonceng kecil di atas pintu berdenting. Suara yang begitu langka hingga membuat Pak Adit terlonjak kaget.
Seorang gadis muda berdiri di ambang pintu, tampak ragu. Ia mengenakan jins sobek dan kaus bergambar band yang tidak Pak Adit kenali. Sebuah ponsel pintar tergenggam di tangannya, layarnya masih menyala. Ia tampak kontras dengan seisi ruangan.
"Permisi, Pak..." suaranya pelan, hampir tenggelam oleh detak jam. "Saya mau servis jam."
Pak Adit melepaskan lup-nya, membiarkannya menggantung di leher. "Baterai?" tanyanya, sedikit ketus. Itu pertanyaan standarnya sekarang.
Gadis itu menggeleng. Ia maju ke meja konter kayu yang penuh goresan. Dengan hati-hati, ia mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya. Bukan jam tangan pintar, bukan pula jam kuarsa.
Itu adalah sebuah jam saku tua. Sangat tua. Cangkang peraknya telah menghitam oleh patina dan di beberapa tempat penyok. Kacanya retak seribu.
Pak Adit mengambilnya. Beratnya terasa pas di tangan. Ia menekan tombol di atasnya. Tidak ada reaksi. Ia memutarnya. Kenop pemutar crown itu macet total.
"Ini... ini sudah mati, Nona," kata Pak Adit, suaranya melembut. "Rusak parah. Mungkin sudah terendam air."
"Saya tahu," jawab gadis itu. Matanya tidak lepas dari jam saku itu. "Tapi bisakah diperbaiki?"
Pak Adit membuka penutup belakangnya dengan alat khusus. Ia mengarahkan lup-nya. Pemandangan di dalamnya membuatnya meringis. Karat telah menjalar seperti jamur di beberapa roda gigi. Pegas utama tampak patah.
"Ini akan makan biaya besar," kata Pak Adit, mencoba mengujinya. "Jauh lebih mahal daripada Nona beli jam baru yang bagus."
"Tidak masalah," kata gadis itu cepat. "Berapa pun biayanya. Tolong, Pak. Ini... ini penting."
Pak Adit menatap gadis di depannya. Ia melihat sesuatu yang ia kenali: bukan sekadar keinginan untuk tahu waktu, tapi sebuah kebutuhan untuk mempertahankan sesuatu.
"Saya tidak janji," kata Pak Adit akhirnya, setelah hening yang lama. "Saya akan coba. Tapi suku cadangnya sudah tidak ada. Saya mungkin harus membuatnya sendiri. Ini butuh waktu."
"Saya akan tunggu. Berapa lama pun," kata gadis itu. Ia menyebutkan namanya, Rara.
Setelah Rara pergi, Pak Adit meletakkan jam saku itu di tengah meja kerjanya. Di bawah cahaya lampu neon kuning, jam itu tampak seperti relik yang menyerah pada waktu. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, Pak Adit lupa pada surat tunggakan di lacinya. Ia mendapatkan tantangan. Seorang pasien di ambang ajal.
Hari-hari berikutnya, Pak Adit seperti masuk ke dalam dunianya sendiri. Toko tetap ia buka, tapi pikirannya tercurah pada jam saku Rara.
Prosesnya adalah arkeologi miniatur. Ia membongkar setiap bagian dengan kehati-hatian seorang ahli bedah. Setiap sekrup yang berkarat direndam dalam larutan pembersih khusus. Setiap roda gigi dibersihkan dengan sikat berbulu halus.
Masalah terbesarnya adalah seperti dugaannya: pegas utama putus dan beberapa gigi pada escapement wheel telah rompal dimakan karat. Ini adalah jantung dan otak dari jam. Tanpa mereka, jam ini hanya bongkahan logam mati.
"Kau tidak akan mati di tanganku," bisik Pak Adit pada bangkai jam itu.
Ia menyalakan mesin bubut manual kecilnya yang telah tertidur selama satu dekade. Dengan mata yang dipandu lup, ia mulai bekerja. Ia mengambil sepotong baja tipis, mengukurnya, memanaskannya, dan menempa ulang sebuah pegas. Itu pekerjaan yang membutuhkan presisi mikroskopis dan kesabaran seorang pertapa. Tangannya yang mulai gemetar harus ia paksa untuk stabil.
Ia gagal tiga kali. Pegas yang ia buat entah terlalu kaku atau terlalu rapuh.
Ia teringat ayahnya. "Jangan melawan logamnya, Dit," kata ayahnya puluhan tahun lalu. "Dengarkan dia. Setiap logam punya kemauannya sendiri. Kau hanya perlu membimbingnya."
Pada percobaan keempat, setelah bekerja hingga larut malam, ditemani kopi hitam pekat, ia berhasil. Pegas itu lentur sempurna.
Selanjutnya, roda gigi. Ia harus membuat ulang tiga gigi yang patah. Ia memotong, mengikir, dan menghaluskan kuningan seukuran ujung jarum pentul. Peluhnya menetes ke atas meja kerja.
Selama seminggu penuh, Waktu Kencana menjadi ruang operasi. Pak Adit lupa makan. Ia lupa pada dunia luar yang berderap kencang. Ia hanya fokus pada dunia kecil di dalam cangkang perak itu.
Akhirnya, tiba saatnya. Semua bagian telah bersih, diperbaiki, atau diganti. Dengan pinset, ia mulai merakitnya kembali. Satu per satu, roda gigi saling bertautan. Pegas utama tergulung kencang. Ia memasang balance wheel di tempatnya.
Hening.
Pak Adit menyentuhnya pelan dengan ujung pinset.
Tik.
Jantung itu berdetak.
Tik-tok. Tik-tok. Tik-tok.
Suaranya jernih, kuat, dan stabil. Pak Adit menarik napas panjang. Ia melepas lup-nya. Matanya perih karena lelah, tapi ia tersenyum. Senyum tulus pertama dalam waktu yang sangat lama.
Ia membersihkan cangkang perak itu hingga berkilau, mengganti kacanya yang retak dengan kristal akrilik baru yang ia potong sendiri. Jam saku itu kini tampak agung. Hidup kembali.
Rara kembali tepat dua minggu kemudian, persis seperti janji Pak Adit. Ia tampak cemas.
Pak Adit tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengambil jam saku itu dari laci, memutarnya beberapa kali untuk mengisi daya, dan meletakkannya di atas meja beludru.
Tik-tok. Tik-tok. Tik-tok.
Mata Rara membelalak. Tangannya terangkat menutup mulut. Air mata mulai menggenang di pelupuknya.
"Dia... hidup," bisik Rara.
"Tentu saja," kata Pak Adit, berusaha terdengar biasa saja, walau hatinya membuncah bangga. "Mesin yang bagus. Buatan Swiss. Sekitar tahun 1920-an. Hanya sedikit lelah."
Rara mengambil jam itu dengan tangan gemetar. Ia mendekatkannya ke telinga, memejamkan mata. Air matanya menetes.
Pak Adit jadi salah tingkah. "Sudah, Nona. Jangan menangis. Nanti rusak lagi kena air mata," kelakarnya kaku. "Soal biaya..."
"Ini jam kakek saya," potong Rara, suaranya bergetar. "Beliau meninggal bulan lalu."
Pak Adit terdiam.
"Kakek saya juga seorang tukang jam," lanjut Rara, kini menatap Pak Adit. "Di desa kecil di Jawa Tengah. Bukan tukang jam hebat, hanya memperbaiki jam-jam dinding tua milik tetangga. Tokonya kecil, lebih kecil dari ini."
Ia mengelus permukaan jam saku itu. "Ini jam miliknya. Jam kesayangannya. Tapi sudah rusak sejak saya kecil. Beliau selalu bilang, 'Suatu hari, Kakek akan perbaiki ini. Tapi alatnya tidak lengkap.' Beliau bilang, hanya ada satu tempat di kota yang mungkin masih bisa: Toko Waktu Kencana."
Jantung Pak Adit sendiri yang serasa berhenti berdetak.
"Kakek saya... beliau mengagumi toko ini," kata Rara. "Beliau pernah ke kota sekali, dan hanya berdiri di luar, tidak berani masuk. Beliau bilang, di sinilah 'penjaga waktu sejati' bekerja. Beliau bercita-cita jam ini bisa berdetak lagi di tangan Bapak."
Rara mengeluarkan dompet. "Wasiat terakhir beliau... adalah agar saya membawa jam ini ke sini. Beliau menabung khusus untuk biayanya. Berapapun..."
Pak Adit mengangkat tangannya, menghentikan Rara. Tenggorokannya tercekat. Semua rasa lelah, frustrasi, dan ketakutan akan penggusuran lenyap seketika.
Ia melihat ke sekeliling tokonya. Debu, minyak, dan jam-jam tua. Ini bukan sekadar bisnis yang gagal. Ini adalah sebuah kuil. Sebuah benteng. Dan ia adalah penjaganya.
"Tidak ada biaya, Nona," kata Pak Adit pelan.
"Tapi, Pak..."
"Anggap saja ini... penghormatan," kata Pak Adit. "Penghormatan dari seorang perajin untuk perajin lainnya. Sampaikan salam saya pada kakekmu."
Rara menatapnya lama, lalu ia membungkuk dalam. "Terima kasih, Pak Adit. Bapak tidak hanya memperbaiki jam. Bapak menyambung kembali cerita kami."
Setelah Rara pergi, Pak Adit duduk terdiam. Suara tik-tok dari jam saku yang diperbaikinya (Rara bersikeras meninggalkannya di toko selama beberapa hari untuk "kalibrasi") terdengar paling nyaring di antara yang lain.
Surat Peringatan Terakhir di laci seolah mengejeknya. Realitas kembali membentur. Keahliannya mungkin mulia, tapi tidak bisa membayar sewa. Waktu Kencana mungkin dihormati oleh seorang tukang jam di desa antah berantah, tapi di kota ini, ia adalah fosil.
Tiga hari kemudian, lonceng pintu berdentang lagi. Rara kembali. Tapi kali ini ia tidak sendiri. Ia bersama seorang pemuda yang membawa kamera profesional.
"Pak Adit," sapa Rara, kali ini dengan senyum lebar. "Saya harap Bapak tidak keberatan."
"Ada apa ini?" tanya Pak Adit curiga.
"Saya jurnalis lepas, Pak. Dan teman saya ini videografer," jelas Rara. "Cerita Bapak... cerita kakek saya... cerita jam ini... terlalu berharga untuk disimpan di dalam toko berdebu ini."
Pak Adit bingung. "Saya tidak mengerti."
"Dunia perlu tahu bahwa keahlian seperti ini masih ada," kata Rara berapi-api. "Orang-orang bosan dengan barang sekali pakai buang. Mereka rindu sesuatu yang punya 'jiwa', seperti kata Bapak."
Rara menjelaskan rencananya. Ia ingin membuat sebuah artikel fitur dan video dokumenter pendek tentang Pak Adit dan Waktu Kencana. Tentang "Sang Penjaga Detik Terakhir". Ia ingin memuatnya di beberapa portal berita digital besar.
"Saya tidak mau jadi tontonan," tolak Pak Adit.
"Bapak bukan tontonan. Bapak inspirasi," bantah Rara. "Dan... saya sudah bicara dengan beberapa kolektor jam tangan vintage. Mereka mencari orang seperti Bapak. Mereka punya jam-jam yang 'sakit' dan butuh dokter."
Rara mengeluarkan laptopnya. "Saya juga buatkan Bapak akun media sosial. Untuk 'Waktu Kencana'. Kita bisa buka jasa restorasi jam antik secara online. Pesanan bisa datang dari seluruh Indonesia."
Pak Adit menatap layar laptop. Ada foto tangannya yang sedang memegang pinset. Ada foto jam saku kakek Rara.
"Saya tidak tahu cara kerja benda-benda ini," gumam Pak Adit.
"Bapak tidak perlu tahu," kata Rara. "Bapak fokus saja pada apa yang Bapak kuasai: menghidupkan kembali waktu. Biar saya yang urus sisanya."
Untuk kedua kalinya minggu itu, Pak Adit merasa jantungnya berdetak kencang. Ia melihat ke sekeliling tokonya. Ia mungkin akan kehilangan tempat ini. Tapi Rara benar. Waktu Kencana bukan hanya soal tembok dan etalase. Waktu Kencana adalah keahlian di tangannya.
Ia menatap Rara. Gadis muda dari generasi "mainan" itu kini menatapnya dengan penuh hormat.
"Baiklah," kata Pak Adit. Ia mengambil lup-nya dan memasangnya kembali di mata. "Tapi singkirkan dulu kamera itu. Ada jam yang harus kuperbaiki."
Rara tersenyum lebar. Ia memberi isyarat pada temannya untuk mulai merekam dari jauh.
Di luar, papan iklan digital terus berteriak tentang masa depan. Tapi di dalam Toko Waktu Kencana, di tengah detak puluhan jam, seorang penjaga waktu tua dan seorang jurnalis muda baru saja memastikan bahwa masa lalu... masih memiliki masa depan. Dan detaknya, baru saja dimulai.