Jika Mata Berbicara
Bab I: Tatapan yang Terperangkap
Di antara hiruk pikuk seragam putih abu-abu dan gemerisik daun kersen di SMAN Pelita, hubungan antara Dharma dan Lista hanyalah sebatas garis tipis yang tak terlihat. Mereka sekelas di tahun pertama, Kelas X. Namun, selama setahun itu, interaksi mereka tidak pernah melewati batas minimal. Dharma, seorang pemuda yang cenderung observatif dan pendiam, sering kali menangkap mata Lista dalam sekejap di lorong, di kantin, atau di tangga, sebelum keduanya cepat cepat memalingkan wajah. Itu adalah permainan bisu yang hanya mereka berdua pahami tatapan cepat, hangat, dan selalu terputus, seperti snippet melodi yang selalu gagal tuntas.
Dharma, dengan logikanya yang sederhana, telah mengunci satu asumsi: Lista adalah kekasih Putra, sahabat karibnya. Bagaimana tidak? Putra dan Lista adalah paket yang tak terpisahkan. Selama lebih dari setahun bahkan jauh sebelum mereka masuk SMA mereka terlihat bersama. Mereka berbagi headphone saat bus sekolah, tertawa renyah di meja perpustakaan yang sama, dan berjalan berdampingan menuju gerbang, tas punggung mereka hampir bersentuhan. Bagi mata Dharma, yang melihat dari jauh, pemandangan itu adalah bukti yang tak terbantahkan.
Meskipun asumsi itu terasa dingin dan mematikan, entah mengapa, pemikiran tentang Lista tetap berlama-lama di benaknya. Dia memiliki tawa yang mudah pecah, cara Lista menyibakkan rambut hitam panjangnya saat sedang fokus, atau bagaimana matanya berbinar saat berbicara tentang buku-buku lama. Dharma menyukai detail itu, detail yang seharusnya tidak ia pedulikan karena ‘Lista milik Putra’. Asumsi ini menjadi pagar tak kasat mata yang ia dirikan sendiri, sebuah benteng yang menjaga perasaannya agar tidak melangkah lebih jauh dari batas pertemanan dengan Putra.
Padahal, kenyataannya jauh berbeda. Putra dan Lista memang akrab sangat akrab sejak SMP. Mereka adalah soulmate platonik, dua orang yang nyaman dalam ruang kebersamaan yang murni tanpa romantisme. Mereka tahu rahasia satu sama lain, menjadi tempat berkeluh kesah tanpa perlu khawatir dihakimi. Mereka adalah sahabat murni. Ironisnya, satu satunya orang yang tidak tahu kebenaran ini adalah Dharma, pria yang diam-diam menaruh hati pada Lista.
Bab II: Bisikan dari Kelas Atas
Waktu berlari cepat. Kelas XI tiba, dan Dharma kini duduk di jurusan IPA, sementara Lista berada di IPS. Jarak fisik di antara kelas mereka semakin mempertegas jarak emosional yang sudah ada. Namun, justru ketika Dharma mulai merasa sedikit tenang karena jarak itu, takdir mengirimkan sebuah goncangan.
Suatu sore, saat mereka sedang membereskan lapangan futsal setelah latihan, Aris, seorang teman Dharma yang terkenal iseng dan suka bergosip, menyenggol lengannya.
“Dharma, lo tahu? Ada yang nanyain lo,” bisik Aris sambil menahan senyum nakal.
Dharma mengernyitkan dahi, menyimpan bola di tempatnya. “Siapa? Jangan ngaco, Ris.”
“Serius! Cewek dari kelas atas. Anak IPS. Penasaran banget sama lo. Katanya lo lucu kalau lagi fokus main game di kantin,” goda Aris.
“Siapa?” desak Dharma, perasaannya tiba-tiba campur aduk antara terkejut dan sedikit bangga.
Aris hanya mengangkat bahu dan tertawa misterius. “Tebak aja.”
Malam itu, kata ‘tebak’ berputar di benak Dharma. Siapa? Dara, si ketua OSIS yang tegas? Atau Mela, si jagoan basket? Wajah wajah itu muncul bergantian, tapi tak satupun terasa ‘klik’.
Keesokan harinya, saat istirahat, Dharma tanpa sadar melangkah ke lorong lantai dua, tempat kelas anak IPS berada. Matanya menyusuri kerumunan yang baru keluar dari kelas. Dan kemudian, pandangannya terkunci. Lista.
Dia berdiri di dekat jendela, tertawa bersama temannya, Siska. Dia tidak melihat ke arah Dharma, tetapi ada gravitasi yang kuat menarik mata Dharma. Sesuatu di dalam dirinya berbisik, Dia. Itu adalah intuisi yang begitu kuat, naluri yang jauh lebih yakin daripada keraguan logisnya.
Di tengah pelajaran sejarah yang membosankan, Dharma menulis pesan singkat ke Aris.
Dharma: Gue tahu. Cewek itu Lista, kan?
Aris membalasnya saat pelajaran usai.
Aris: Kok lo tahu? Jangan jangan lo cenayang, Harm.
Keesokan paginya, Dharma mencegat Aris di depan gerbang. “Jawab jujur, Ris. Itu Lista, ‘kan?”
Aris menghela napas panjang, ekspresi isengnya menghilang. “Oke, iya. Tapi kenapa lo tahu? Lo suka sama dia?”
Dharma terdiam. Jantungnya berdebar kencang. “Nggak tahu. Tapi… kenapa dia nanyain gue? Dia ‘kan mantannya Putra.”
Aris spontan tertawa terbahak-bahak, membuat beberapa siswa menoleh. “Dude! Sampai sekarang lo masih mikir gitu? Mereka nggak pernah pacaran, Dharma! Mereka cuma sahabat sejak bocil. Mereka berdua sering ketawa denger orang orang ngira mereka pacaran. Putra pernah bilang ke gue, Lista itu udah kayak adeknya sendiri.”
Dunia Dharma terasa seperti diputar 180 derajat. Pagar yang ia bangun runtuh seketika.
Mereka tidak pernah pacaran.
Rasa lega bercampur dengan penyesalan yang mendalam. Penyesalan karena ia telah menyia-nyiakan waktu lama hanya karena sebuah asumsi yang salah.
Bab III: Sebuah Kesempatan di Gerbang Sekolah
Sejak hari itu, Lista benar benar memenuhi setiap ruang pikiran Dharma. Koridor tidak lagi terasa dingin. Setiap kali ia melihat Lista, senyum tipis pasti muncul di sudut bibirnya. Dia memperhatikan bagaimana Lista tampak tergesa gesa saat terlambat, atau sebatas fokusnya dia mencatat saat guru menjelaskan. Perasaan yang ia tahan selama setahun akhirnya meluap, hangat dan nyata.
Satu minggu setelah pengakuan Aris, takdir kembali berpihak pada Dharma. Setelah latihan basket yang melelahkan, ia berjalan menuju gerbang sekolah, jaketnya diikat di pinggang. Di sana, ia melihat Lista berdiri sendirian di dekat pos satpam. Gerimis baru saja berhenti, menyisakan bau tanah basah dan udara sejuk.
Dengan jantung berdetak seperti drum yang ditabuh kencang, Dharma menarik napas dalam dalam dan melangkah mendekat.
“Hei… lo sendirian?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit canggung dan lebih keras dari yang ia inginkan.
Lista menoleh. Senyumnya yang ia ingat dari kelas X, senyum yang selalu terpotong oleh tatapan yang terburu-buru, kini utuh dan ditujukan hanya padanya. “Iya, kenapa? Teman temanku udah pada pulang. Lo sendiri?”
“Aku nunggu Putra. Tapi kayaknya dia masih di ruang guru. Jadi… aku cuma berdiri aja,” Dharma berbohong. Dia tidak menunggu Putra, dia menunggu kesempatan.
Obrolan singkat itu berkembang. Mereka berbicara tentang guru fisika yang menyebalkan, tentang film terbaru, dan tentang rencana setelah lulus. Hari itu berakhir dengan janji tak terucapkan untuk mengobrol lagi. Malamnya, sebuah notifikasi muncul di ponsel Dharma.
Lista: Tadi seru ngobrolnya, Harm. Kayaknya kita punya selera film yang sama :)
Dari situ, segalanya mengalir. Pesan teks berubah menjadi panggilan telepon larut malam. Kisah sehari-hari berubah menjadi curahan hati. Mereka menjadi dekat, sangat dekat, dalam waktu singkat. Dharma menemukan dirinya sangat nyaman dengan Lista. Daftar suka dan duka mereka mulai tumpang tindih.
Namun, bayangan Putra masih menghantuinya. Dia masih khawatir dicap sebagai pengkhianat pertemanan, meskipun ia tahu Lista dan Putra tidak pernah menjalin hubungan asmara. Ketakutan irasional itu membuatnya menahan diri. Dia tidak berani maju, takut merusak keindahan kebersamaan mereka yang sudah tercipta.
Bab IV: Pengakuan di Bawah Langit Senja
Beberapa minggu kemudian, setelah latihan teater sekolah, Dharma dan Lista duduk di taman belakang sekolah. Langit sudah berubah menjadi oranye keemasan, warna yang terlalu indah untuk dibiarkan berlalu begitu saja. Keheningan itu terasa berat dan penuh makna.
Dharma memutar batu kerikil di tangannya. Dia harus mengatakannya. Sekarang.
“Lis,” panggilnya, suaranya rendah dan serius. “Aku tahu aku kelihatan ragu selama ini. Itu karena aku terus mikirin Putra.”
Lista menoleh, ekspresinya tenang. “Kenapa harus mikirin Putra?”
“Karena… asumsi konyolku dulu. Aku pikir kalian pernah pacaran. Aku takut kalau aku maju, itu akan mengkhianati pertemananku sama dia. Aku nggak mau jadi orang yang merebut meskipun sekarang aku tahu itu nggak benar.” Dharma menarik napas panjang. “Tapi, aku nggak bisa bohong lagi. Perasaan aku ke kamu udah terlalu jauh. Aku… aku suka sama kamu, Lista.”
Lista tersenyum lembut. Senyum yang menyimpan seribu rahasia.
“Aku juga suka sama kamu, Dharma,” jawabnya tenang. “Sejak dulu. Sejak kita cuma bisa saling lihat di lorong. Aku tahu kamu ragu karena Putra, dan aku menghargai itu. Tapi, aku juga senang Aris akhirnya memberitahu kamu yang sebenarnya.”
Dharma bingung. “Tunggu. Aris… dia tahu aku suka sama kamu?”
“Tidak,” kata Lista, tatapan matanya berubah, sedikit menggelap dan serius. “Dia tahu aku suka sama kamu.”
Bab V: Plot Twist dan Sebuah Kebenaran
Lista melanjutkan penjelasannya, dan kebenaran yang tak terduga mulai terungkap, merobek narasi yang telah dibangun Dharma selama ini.
“Dharma, Aris tidak tiba-tiba memberitahumu. Aku yang memintanya. Aku melihatmu selalu menarik diri, selalu menjaga jarak. Aku tahu kamu melihatku bersama Putra dan berasumsi. Aku tahu pertemananmu dengan Putra sangat penting, dan aku tahu kamu tidak akan pernah maju kalau asumsi itu masih ada.”
Lista menggeser duduknya, menatap Dharma lurus. “Aku adalah gadis dari kelas atas yang menanyakanmu. Tapi aku tidak bertanya karena aku ‘penasaran’ seperti yang Aris bilang. Aku memintanya untuk mengatakan itu, berharap kamu akan mencari tahu lebih banyak dan memaksanya bicara. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak pernah berhubungan dengan Putra, karena aku sedang menunggu kamu.”
Dharma terdiam, seluruh logikanya runtuh. Ini bukan hanya tentang dua orang yang akhirnya bersatu; ini adalah tentang sebuah skenario yang direkayasa oleh Lista.
“Selama setahun di kelas X, saat kita saling pandang, aku tahu kamu merasakan hal yang sama. Aku selalu ingin berbicara, tapi kamu selalu menghindar begitu cepat. Aku melihat bagaimana kamu menjaga jarak. Aku melihat bagaimana kamu melihatku bersama Putra dan aku tahu apa yang ada di pikiranmu. Jadi, ketika kita naik kelas dan jarak kita semakin jauh, aku sadar aku harus melakukan sesuatu.”
Lista meraih tangan Dharma. “Aku yang menyusun rencana itu. Aku yang meminta Aris yang kebetulan tahu perasaanku untuk memicu rasa penasaranmu. Aku yang membiarkanmu berpikir bahwa aku adalah 'mantan Putra' agar kamu mau bertanya. Aku adalah satu satunya alasan kenapa kita sekarang ada di sini, di bawah langit senja ini.”
Dharma merasakan gelombang panas di wajahnya. Rasa malunya bercampur dengan kekaguman yang luar biasa. Lista, gadis yang ia anggap pendiam dan lugu, ternyata adalah dalang di balik pertemuan mereka.
“Jadi, bukan takdir?” tanya Dharma, suaranya tercekat.
Lista tertawa, sebuah tawa yang kini terdengar lebih berani dan penuh kemenangan. “Takdir itu perlu sedikit dorongan, Dharma. Aku memberimu semua petunjuk, memberimu kesempatan untuk memecahkan misteri itu, dan kamu melakukannya. Aku hanya memastikan bahwa masa lalu yang tidak pernah terjadi itu, asumsi bodoh tentang aku dan Putra, tidak menghalangi masa depan kita.”
Dharma membalas tatapan Lista. Keberanian dan kejujuran Lista jauh lebih menarik dari gadis mana pun yang pernah ia temui. Dia bukan hanya kekasih yang manis; dia adalah seorang strategis yang tahu persis apa yang dia inginkan.
Dia tersenyum, senyum yang lepas tanpa beban asumsi. Dia memegang tangan Lista erat-erat. “Kamu benar. Aku mencintai strategimu.”
Malam itu, mereka memulai cerita mereka. Cinta yang tidak hanya tulus dan hangat, tetapi juga berani, lahir dari aku, dia, dan masa lalu yang tak pernah terjadi—sebuah masa lalu yang sengaja dihilangkan oleh tangan Lista untuk menciptakan sebuah masa depan yang pasti.