Ikatan Abadi Suatu Pertemanan
Angin senja di kaki Gunung Merbabu selalu membawa aroma pinus dan tanah
basah setelah hujan, aroma yang menjadi saksi bisu awal pertemanan itu. Lily, dengan rambut
hitam lurus sebahu dan mata sehangat madu, adalah jiwa yang tenang dan
intuitif. Ia adalah seorang seniman yang bisa melihat palet warna pada abu-abu,
selalu menemukan keindahan pada hal-hal yang tersembunyi dan tak tergesa.
Di sampingnya, selalu ada Peony. Peony adalah definisi dari energi yang
meledak-ledak—ambisius, tak kenal takut, dan selalu siap memimpin. Jika Lily
adalah kanvas yang menerima, Peony adalah kuas yang bergerak dengan berani.
Sejak mereka pertama kali bertemu di bangku sekolah dasar, perbedaan mereka tidak pernah
menjadi penghalang, melainkan magnet yang menguatkan. Lily menenangkan
kegelisahan Peony, sementara Peony mendorong Lily keluar dari zona nyaman.
Mereka berdua memiliki ritual unik: setiap sore hari, mereka akan duduk di batu besar
di tepi sungai yang mengalir deras, memimpikan masa depan. Lily akan
menggambar sketsa gaun-gaun indah yang ia harapkan suatu hari nanti akan
dikenakan oleh para wanita yang bahagia, sementara Peony akan mencatat
angka-angka dan strategi bisnis di buku catatannya yang lusuh.
“Aku akan membangun perusahaan fashion global, Peony,” kata Lily suatu sore,
matanya berkilauan memantulkan cahaya matahari terbenam. “Aku ingin karyaku
membuat setiap orang merasa unik.”
Peony tertawa, tawa yang penuh percaya diri. “Tentu saja, Lil. Dan aku akan
menjadi CEO yang membawamu ke panggung dunia. Aku akan mengurus
angkanya, dan kau urus visinya. Kita akan menjadi duo tak terkalahkan:
keindahan dan kecerdasan bisnis.”
Janji masa kecil itu, yang diucapkan dengan keyakinan polos, menjadi jangkar
bagi tahun-tahun mendatang. Mereka lulus SMA dengan nilai terbaik—Lily
dengan keunggulan di bidang seni rupa, Peony di bidang ekonomi. Jalan hidup
mulai meminta mereka berpisah. Lily diterima di salah satu sekolah desain
terbaik di Paris, dan Peony mendapatkan beasiswa penuh untuk studi bisnis di
Amerika Serikat.
Malam terakhir sebelum keberangkatan mereka, mereka kembali ke batu besar di
tepi sungai. Udara terasa dingin, diselimuti kesedihan yang tak terhindarkan.
“Aku takut,” bisik Lily, menyandarkan kepalanya di bahu Peony. “Jarak ribuan
kilometer. Perbedaan waktu. Bagaimana jika kita berubah?”
Peony memeluknya erat. “Dengarkan aku, Lily. Kita mungkin tidak akan bicara
setiap hari, mungkin tidak setiap minggu. Kita akan sibuk, gila-gilaan, seperti
yang selalu kita impikan. Tapi pertemanan kita ini, Lil, ini bukan rantai, ini adalah
akar. Akar tidak pernah terpisah, mereka hanya tumbuh lebih dalam.”
Dengan air mata dan janji yang diperbaharui, mereka berpisah.
Tahun-tahun berikutnya adalah pusaran yang membuktikan kebenaran janji
Peony dan juga menguji ketakutan Lily. Lily, yang kini dikenal sebagai perancang
busana berbakat di kalangan elit Paris, disibukkan dengan jadwal fashion show
yang padat dan tuntutan kreativitas yang tak ada habisnya. Karyanya dipuji
karena keanggunan yang sederhana dan sentuhan personal yang mendalam—
sebuah cerminan dari jiwanya yang tenang.
Sementara itu, Peony benar-benar melesat. Setelah lulus dengan predikat
summa cum laude, ia bergabung dengan perusahaan konsultan raksasa di New
York, bekerja dengan ritme yang tak manusiawi. Ia bernegosiasi kesepakatan
bernilai jutaan dolar, melakukan perjalanan melintasi zona waktu seolah itu
hanyalah sebuah perjalanan sore. Ia menjadi simbol kesuksesan yang brutal dan
cepat.
Awalnya, komunikasi mereka masih teratur. Panggilan video pada hari Minggu,
pesan teks acak yang menguatkan. Namun, seiring waktu, celah mulai terbentuk.
Lily sering menunggu balasan pesan dari Peony yang tak kunjung tiba. Peony
sering membatalkan panggilan karena rapat darurat di Tokyo atau London.
Lily mulai merasa asing. Ketika ia mengirimkan foto prototipe gaun terbarunya,
Peony hanya menjawab singkat, “Keren. Pasti laku keras.” Kata-kata itu terasa
dingin dan transaksional, jauh dari Peony yang dulu bisa menghabiskan waktu
berjam-jam membahas makna warna dan tekstur.
“Dia sudah berubah,” Lily mengakui pada dirinya sendiri suatu malam, sambil
menatap layar ponselnya yang kosong. “Kehidupan di puncak telah
mengubahnya menjadi robot yang hanya peduli pada angka dan efisiensi.”
Di sisi lain Atlantik, Peony juga bergumul. Kesuksesannya terasa hampa. Ia
berada di puncak menara korporat, tetapi ia kesepian. Ia merindukan kehangatan
tanpa syarat dari Lily. Setiap kali Lily mencoba menelepon, Peony sedang berada
di tengah-tengah negosiasi penting yang memerlukan fokus total. Ia takut
mengangkat telepon, khawatir suaranya yang lelah dan rapuh akan merusak citra
dirinya yang sempurna di mata Lily.
"Aku tidak bisa membebani Lily dengan semua ini," pikir Peony. "Dia sedang di
Paris, menjalani mimpinya. Aku harus terlihat kuat, seolah aku juga baik-baik
saja."
Jeda komunikasi yang mulanya tidak disengaja berubah menjadi jurang yang
disengaja, diisi oleh asumsi dan kesalahpahaman yang tumbuh subur dalam
kesunyian.
Ujian terberat datang tiga tahun setelah perpisahan mereka. Peony akhirnya
mencapai ambisinya: ia diangkat menjadi Mitra Termuda di perusahaannya,
sebuah gelar yang sangat didambakan. Dalam euforia kesuksesan, ia
memutuskan untuk mewujudkan janji masa kecil mereka. Ia mendirikan
perusahaan investasi kecil dengan satu-satunya tujuan: mendukung merek
fashion yang didirikan oleh Lily.
Peony mengirim email resmi ke Lily, menggunakan alamat email kantornya yang
formal.
Subjek: Proposal Investasi Strategis – Rumah Mode ‘Aether’
Isi email itu lugas, profesional, dan penuh angka: analisis pasar, proyeksi
pertumbuhan, dan tawaran investasi signifikan untuk merek Lily, yang kini
bernama Aether. Tidak ada sapaan pribadi, tidak ada referensi masa lalu, hanya
bahasa bisnis yang dingin.
Lily membacanya saat ia sedang mempersiapkan peluncuran koleksi
terbesarnya. Jantungnya terasa diremas. Ia tidak melihat dukungan dari seorang
sahabat, melainkan tawaran bisnis dari seorang investor yang kejam. Dalam
benaknya, Peony tidak peduli pada gairahnya, hanya pada potensi keuntungan.
Lily membalas email tersebut dengan amarah dan rasa sakit yang tersimpan
selama bertahun-tahun:
Subjek: Re: Proposal Investasi Strategis – Rumah Mode ‘Aether’
Kepada Yth. Peony,
Terima kasih atas tawaran Anda. Namun, Aether bukan hanya sekadar angka di
lembar kerja Anda. Ini adalah tentang jiwa, gairah, dan impian masa kecil. Saya
tidak akan menjualnya kepada siapa pun yang hanya melihat potensi keuntungan.
Sepertinya kita sudah lama melewati masa di mana kita berbagi visi, bukan
sekadar investasi.
Saya menolak tawaran ini. Semoga sukses dengan proyek-proyek Anda yang lain.
Hormat saya,
Lily.
Saat membaca balasan itu, Peony terhenyak di kursi kantornya. Kepala batu dan
profesionalitas yang selalu ia pertahankan runtuh. Ia menyadari kesalahannya: ia
telah berkomunikasi sebagai CEO yang sukses, bukan sebagai Peony, sahabat
yang pernah berjanji di tepi sungai.
Tanpa berpikir dua kali, Peony memesan tiket penerbangan pertama ke Paris.
Lily sedang sibuk menyelesaikan jahitan terakhir pada gaun pernikahan salah
satu klien utamanya ketika pintu studionya yang minimalis terbuka dengan keras.
Peony berdiri di sana, tanpa jas mahal, wajahnya pucat karena kelelahan, dan
matanya dipenuhi kerinduan yang mendalam.
“Lil,” panggil Peony, suaranya serak.
Lily meletakkan jarumnya. Dingin dan tegas. “Anda seharusnya membuat janji,
Nona,” katanya, menggunakan nada formal yang melukai Peony lebih dari katakata.
“Jangan begitu,” kata Peony, melangkah maju. “Aku tahu aku kacau. Email itu…
aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu bagaimana lagi berkomunikasi
denganmu. Aku terlalu takut untuk terdengar lemah, jadi aku memilih untuk
terdengar seperti bajingan. Itu adalah kesalahan bodoh.”
Lily menatapnya, air mata mulai menggenang. “Aku pikir aku kehilanganmu,
Peony. Aku pikir kau telah pergi ke dunia di mana aku tidak lagi bisa
menjangkaumu. Aku merindukan Peony yang dulu bersemangat hanya karena
sebuah ide gila, bukan karena neraca keuangan."
Peony meraih tangan Lily, yang terasa dingin. “Kau tidak pernah kehilangan aku.
Aku hanya tersesat dalam keambisiusanku sendiri. Setiap langkah yang aku
ambil, Lil, setiap kontrak yang aku tandatangani, tujuannya selalu untuk membuat
janji kita di batu besar itu menjadi kenyataan. Mendirikan perusahaan investasi itu
adalah caraku untuk memegang janjiku, untuk menjadi support system-mu.”
“Kenapa tidak kau telepon aku saja? Kenapa tidak kau katakan, ‘Lil, aku punya
kejutan, ingat janji kita?’” tanya Lily, kini menangis.
Peony memeluknya erat, pelukan yang terasa seperti pulang ke rumah. “Karena
aku takut kau melihat betapa lelahnya aku, betapa rapuhnya aku tanpa dirimu di
sisiku. Aku lupa bahwa persahabatan kita bukan tentang menjadi sempurna atau
sukses, itu tentang menjadi diri kita sendiri yang kacau dan saling mendukung.”
Mereka berdua menangis lama di tengah tumpukan kain sutra dan benang emas.
Setelah badai emosi mereda, mereka duduk dan berbicara berjam-jam, seperti
dulu di tepi sungai, menceritakan semua keraguan, ketakutan, dan kesenangan
yang terpendam.
Lily kemudian menyadari: Peony memang berubah, tetapi perubahan itu
hanyalah lapisan luar yang terbentuk oleh tuntutan pekerjaan. Inti dari Peony,
sahabatnya yang berani dan setia, tetap sama. Peony menyadari bahwa Lily tidak
membutuhkan uangnya, melainkan hatinya.
Beberapa bulan kemudian, Peony tidak lagi menjadi Mitra Termuda. Ia
mengundurkan diri dan menggunakan semua pengalamannya untuk mendirikan
firma konsultasi kecil yang berfokus pada pembangunan merek berbasis
komunitas dan berkelanjutan. Ia pindah kembali ke Indonesia, mendekat ke
kampung halaman mereka.
Tentu saja, ia menjadi penasihat bisnis utama untuk Aether. Namun, kali ini,
hubungan mereka didasarkan pada sinergi yang sehat dan kejujuran emosional,
bukan transaksi yang dingin. Peony membantu Lily menyusun strategi
pertumbuhan yang etis, sementara Lily memastikan Peony tidak lagi tenggelam
dalam pekerjaan yang merenggut jiwanya.
Di hari peresmian butik Aether yang pertama di Jakarta, sebuah butik yang
dirancang Lily dengan sentuhan artistik dan diorganisir Peony dengan efisiensi
yang luar biasa, mereka berdiri berdampingan. Butik itu adalah perwujudan
sempurna dari visi mereka: keindahan yang didukung oleh kecerdasan.
“Lihat, Lil,” bisik Peony, sambil menyesap champagne dengan senyum bahagia,
senyum yang tulus, bukan senyum korporat. “Kita berhasil. Ini lebih dari sekadar
gaun atau angka.”
Lily tersenyum, memegang erat tangan sahabatnya. “Ini adalah akar, Peony. Kau
benar. Akar kita terlalu kuat untuk dicabut oleh badai apa pun.”
Mereka tidak lagi merencanakan masa depan dengan ketakutan akan
perpisahan. Mereka tahu, tidak peduli seberapa jauh jalur karier mereka
membelok atau seberapa sering zona waktu memisahkan mereka, ikatan abadi
yang mereka tanam saat kecil di kaki Merbabu akan selalu menyatukan mereka kembali.
Mereka adalah Lily dan Peony, keindahan dan kekuatan, dua jiwa yang terjalin
selamanya.
Lily dan Peony menengadah, melihat keindahan bintang-bintang kota yang tampak jauh
lebih terang malam itu, dipenuhi oleh kepastian bahwa petualangan terbesar
mereka adalah, dan akan selalu, satu sama lain.
Tamat.