Jejak Cahaya di Desa Taruna
Kabut pagi turun perlahan di antara pepohonan besar yang mengelilingi Desa Taruna. Desa itu sangat tenang, seolah-olah waktu berjalan lebih lambat dibandingkan tempat lain di dunia. Burung-burung kecil berkicau di atap-atap rumah kayu yang dibangun tanpa menggunakan satu paku pun, dengan teknik warisan nenek moyang. Di tengah desa, sebuah sungai kecil mengalir dan memantulkan cahaya matahari seperti kristal yang berkilauan.
Taruna adalah desa yang tidak hanya tua, tetapi juga kuno, sakral, dan menyimpan adat istiadat yang tidak pernah berubah sejak ratusan tahun lalu. Setiap minggu, ada ritual untuk menghormati leluhur; setiap bulan, ada upacara untuk mengucapkan terima kasih kepada alam; dan setiap tahun, ada perayaan besar yang hanya boleh dipimpin oleh ketua adat.
Ketua adat bernama Pak Gading, seorang pria tua yang berwibawa dengan rambut putih panjang yang selalu diikat rapi. Semua warga mematuhi setiap perkataannya karena ia dianggap sebagai penghubung antara leluhur dan generasi sekarang.
Namun, pada pagi itu, ketenangan terganggu oleh suara yang sangat asing.
Brrmmm…
Brrrrrrm…
Sebuah mobil hitam memasuki jalan desa yang kecil, menimbulkan debu kering, dan membuat beberapa ayam berlarian ketakutan.
Warga Taruna keluar dari rumah mereka, menatap dengan mata penuh rasa ingin tahu bercampur ketakutan. Mereka jarang sekali melihat orang luar datang, apalagi dengan kendaraan beroda empat yang mengerikan dan bersuara keras itu.
Mobil berhenti di depan balai adat. Dari dalamnya keluar seorang pemuda berusia sekitar 25 tahun, berkulit bersih, rambut rapi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan. Ia membawa tas besar di tangan kanan dan map besar di tangan kiri.
Pemuda itu tersenyum ramah. “Selamat pagi. Saya sedang mencari ketua adat.”
Warga saling pandang. Seorang lelaki muda berbisik kepada kawannya, “Orang kota lagi… pasti bawa urusan aneh-aneh.”
Ibu-ibu mulai berbisik-bisik. Anak-anak bersembunyi di belakang pintu.
Tak lama kemudian, Pak Gading muncul dengan langkah pasti. Tongkat kayu hitam yang selalu ia bawa mengetuk tanah dengan irama teratur.
“Aku ketua adat di sini,” katanya tegas. “Siapa kamu, Nak? Dan apa maksud kedatanganmu?”
Pemuda itu menunduk sopan. “Nama saya Arka Wijantara, Pak. Saya datang dari kementerian pembangunan daerah. Desa Taruna terpilih untuk program Modernisasi Desa Tradisional.”
Warga langsung ribut.
“Modernisasi?”
“Apa itu?”
“Jangan-jangan mau bongkar desa kita!”
Pak Gading mengangkat tangan, dan semuanya langsung terdiam.
“Apa maksud pemuda ini? Jelaskan.”
Arka membuka map yang berisi gambar-gambar rancangan.
“Kami ingin memperlebar jalan, menambah jaringan listrik, membangun pusat kegiatan warga, dan menyediakan fasilitas pendidikan modern. Kami juga akan memperbaiki jembatan sungai agar tidak berbahaya saat musim hujan.”
Warga makin heboh.
“Bangun gedung? Tapi tanah itu keramat!”
“Listrik lagi? Lampu neon mengganggu energi leluhur!”
“Jalan diperlebar? Rumah siapa yang mau digeser?”
Pak Gading menatap Arka dengan tajam. “Kau datang bawa perubahan besar. Tapi kami… bukan desa sembarangan.”
Arka menarik napas panjang. “Saya tahu, Pak. Dan saya menghormati adat Taruna. Saya tidak datang untuk merusak. Saya datang untuk mengembangkan.”
“Adat tidak bisa dikembangkan,” jawab Pak Gading. “Adat itu dijaga.”
Di balik kerumunan warga, seorang gadis berusia 20 tahun memperhatikan Arka dengan rasa penasaran. Namanya Lara—cucu Pak Gading. Berbeda dari warga lain, Lara beberapa kali pernah ikut saudara jauhnya ke kota. Ia pernah melihat gedung tinggi, lampu terang, dan perpustakaan besar. Diam-diam, Lara ingin desa mereka memiliki sedikit kenyamanan seperti itu.
Lara maju ke depan. “Kakek, mungkin kita bisa mendengarkan penjelasan dulu.”
Warga berbalik. Mereka tahu Lara sering dianggap ‘yang paling modern’ di antara pemuda desa.
Pak Gading menggerutu pelan, “Lara, ini urusan orang dewasa.”
Lara tetap berdiri. “Tapi desa tidak bisa menolak perubahan selamanya, Kek. Dunia terus maju, kan.”
Arka menatap Lara dan tersenyum kecil sebagai tanda terima kasih. Lara membalas dengan anggukan halus.
Setelah terdiam sejenak, Pak Gading menatap Arka kembali.
“Baik,” katanya, “Kau boleh tinggal. Belajar tentang desa ini. Pelajari adatnya. Tapi jangan sentuh apa pun tanpa izin kami.”
Arka menunduk hormat. “Saya mengerti, Pak. Terima kasih atas kesempatannya.”
Hari-hari berikutnya, Arka mulai memetakan desa. Ia mencatat letak rumah, aliran sungai, jembatan kayu yang rapuh, dan area ladang. Ia sangat serius, namun warga masih memandangnya dengan curiga.
Di tengah pekerjaannya itu, Lara sering muncul.
“Kamu tidak takut dicurigai oleh seisi desa?” tanya Lara sambil duduk di tembok batu dekat sungai.
Arka tertawa kecil. “Bukan pertama kali. Saya sudah pernah ke beberapa desa. Taruna, meskipun… berbeda. Tradisi hidup di setiap sudut.”
Lara menatap sungai. “Kadang aku ingin desa ini tidak terlalu kaku. Aku ingin anak-anak bisa belajar lebih banyak. Aku ingin malam tidak gelap gulita.”
Arka berhenti menulis dan menatapnya. “Itulah sebabnya saya di sini.”
“Tapi…” Lara menunduk, “Kakekku akan melawan semua perubahan itu.”
Arka menatap langit. “Tidak apa-apa. Saya tidak datang untuk melawan. Saya datang untuk meyakinkan.”
Pada suatu pagi, Arka mendatangi balai adat membawa satu alat kecil berbentuk kotak.
“Apa itu?” tanya salah satu warga.
“Lampu tenaga surya kecil, Pak,” Arka menjawab. “Tidak menggunakan listrik desa, tidak menyentuh bangunan adat. Saya hanya ingin memperlihatkan contoh kecil modernisasi yang tidak merusak apa pun.”
Namun, warga langsung panik.
“Ah, nanti roh leluhur marah!”
“Jangan main-main dengan energi aneh begitu!”
“Kotak itu bisa meledak!”
Arka mencoba menjelaskan, “Ini aman, tidak ada yang berbahaya.”
Tapi mereka tetap menolak.
Pak Gading maju. “Arka, kau janji tidak menyentuh apa pun.”
“Saya hanya ingin menunjukkan,” jawab Arka.
“Menunjukkan juga bagian dari mengubah,” balas Pak Gading.
Arka ingin menjawab, tapi suaranya tertahan. Ia tidak mau mencari konflik.
Tapi tiba-tiba, Lara berdiri di tengah kerumunan. “Kakek, Arka hanya ingin membuat malam lebih terang. Itu saja.”
“Lara…”
“Kalau leluhur ingin desa ini aman, bukankah cahaya juga perlindungan?”
Pak Gading terdiam. Hening panjang menyelimuti balai adat.
Akhirnya ia berkata, “Baik. Pasang satu. Satu saja. Untuk percobaan.”
Pada hari itu juga, Arka memasang satu lampu tenaga surya di dekat jembatan, ditemani Lara.
“Kamu berani sekali menantang ketegasan kakekmu,” kata Arka sambil tersenyum.
“Aku bukan menantang,” jawab Lara. “Aku hanya memberi ruang untuk masa depan.”
Malam tiba. Lampu itu menyala lembut—bukan terang menyilaukan, tetapi cukup untuk menerangi jalan.
Warga keluar rumah pelan-pelan.
“Cantik…”
“Tidak merusak suasana desa.” “Tidak terlalu terang.”
Pak Gading memandang dari kejauhan. Senyumnya samar, tetapi ada. Arka menghampirinya. “Terima kasih sudah memberi kesempatan, Pak.”
“Jangan bangga dulu,” balas Pak Gading. “Ini baru permulaan.”
Lara berdiri di samping Arka dan berbisik, “Ini langkah pertama.”
Arka mengangguk. “Perubahan besar selalu dimulai dari hal kecil.”
Minggu berikutnya, keseluruhan masyarakat Desa Taruna pun berkumpul di lapangan utama untuk menjalankan upacara persetujuan leluhur. Upacara ini dianggap sakral, karena menentukan apakah perubahan yang diusulkan dapat diterima tanpa mengganggu keseimbangan adat.
Pak Gading stood amidst a circle of people, all in his full black-and-gold uniform. The incense wafted up, curling and filling the air with the soothing scent of the forest. Arka stood at the back side with Lara, waiting with his heart pounding.
“Leluhur Taruna,” gema suara Pak Gading lantang, “hari ini kami meminta petunjuk. Seorang pemuda dari luar desa datang membawa rencana perubahan. Berikanlah kami tanda apakah jalan ini pantas ditempuh.”
Dengan spontan warga menundukkan kepala. Angin berhembus pelan, membuat daun-daun pohon tua bergoyang seperti memberi jawaban tersendiri.
Pak Gading menutup mata, kemudian menaburkan bunga-bunga kecil ke atas api dupa. Upacara hening selama beberapa menit. Lalu, tiba-tiba asap dupa bergerak lurus ke arah jembatan tua di dekat sungai tempat lampu tenaga surya dipasang.
Orang-orang mulai berbisik. Lara memandang Arka lantas berbisik, “Ini pertanda. Leluhur mengarahkan kita pada cahaya itu.”
Pak Gading membuka mata. Ia menatap ke arah yang sama. Ia mengangguk perlahan, seolah memahami makna yang disampaikan leluhur.
"Saudara-saudara," Pak Gading berkata akhirnya, "tanda telah diberikan. Leluhur tidak menolak cahaya. Mereka mengizinkan perlindungan dan perbaikan, selama tidak menghilangkan jati diri desa."
Sorakan pelan terdengar dari warga. Beberapa di antara mereka tampak lega. Arka menunduk hormat, sangat bersyukur atas kesempatan itu.
Setelah upacara selesai, Pak Gading menghampiri Arka. "Pemuda, kau telah menunjukkan ketulusan untuk memahami Taruna. Kau tidak memaksa perubahan. Kau menyesuaikannya."
Arka tersenyum sopan. “Saya hanya ingin desa ini maju tanpa kehilangan sejarahnya, Pak.
Lara stands beside them. “Kek, we can start fixing the bridge next week.”
Pak Gading mengangguk. “Ya. Dan kau, Arka, aku ingin kau tetap berada di sini sampai semua pembangunan selesai. Kau harus memastikan semua berjalan sesuai adat.”
“Saya bersedia, Pak. Dengan senang hati.”
Hari-hari berikutnya menjadi masa baru bagi Desa Taruna. Mereka mulai bekerja sama dengan Arka membangun jembatan yang lebih kokoh, memasang penerangan tenaga surya di titik aman, serta membuat sebuah pusat belajar berbahan kayu alami yang tetap menyatu dengan suasana desa.
Sering Lara membantu Arka dalam proses tersebut. Diam-diam, keduanya menjadi semakin dekat. Tak ada kata khusus yang terucap, tapi seluruh warga melihat bagaimana kehadiran Arka memberikan harapan baru bukan hanya untuk desa tapi juga untuk Lara.
Beberapa bulan setelah pembangunan selesai, Desa Taruna tetap terlihat seperti desa kuno yang penuh adat. Namun sekarang, desa itu lebih aman, lebih terang, dan memiliki ruang belajar yang membantu anak-anak memahami dunia tanpa meninggalkan akar budaya mereka.
Pada suatu sore, ketika matahari turun perlahan, Pak Gading berdiri di tepi sungai menatapi jembatan baru yang kokoh.
“Perubahan yang baik,” gumamnya.
Arka dan Lara berdiri tidak jauh dari sana. Lara tersenyum, lalu berkata pelan, “Ini langkah pertama bagi masa depan desa kami.”
Arka mengangguk. “Dan Taruna menjadi desa dari desa lain nya yang melangkah maju tanpa melupakan sejarahnya dan leluhur”