Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Rumah yang Menyempitkan Langit

👤 Komang Ayu Putriana Kanya Dewi 🏫 XI-12 🆔 25877

Tidak ada yang bisa menandingi kebiasaan keluarga kecil ini dalam hal berhemat. Keluarga ini unik, berhemat atau memang pelit, mungkin keluarga ini ada di tengah-tengahnya. Sari, si ibu rumah tangga, memiliki tingkat hemat hampir mencapai sempurna, selalu menakar beras dengan teliti setiap pagi, memastikan tak ada satu butir yang terbuang, selalu mencoba peruntungan dalam menawar harga daging di pasar. Suaminya bernama Darto, selalu mengikuti apa yang istrinya minta, baginya apa yang istrinya katakana adalah hal yang ditentukan dengan penuh perhitungan, dan harus ia ikuti, ia menuruti kata istrinya untuk pulang pergi dari kantor yang jaraknya sejauh dari Bandung ke Jakarta menggunakan sepeda. Anak mereka, Reka, sedang duduk di bangku SMP, ia memilih untuk bersekolah sambil berjualan, lumayan pikirnya jika dapat menambah uang jajan, meski ia hanya mengambil setengah dari hasil penjualannya. Meski begitu, keluarga kecil ini tidak pernah merasa kekurangan, rumah kecil yang mereka tempati hangat rasanya. Meski dindingnya ringkih, lantainya sudah beberapa kali ditambal, namun tempat itu selalu membawa kehangatan. Bukan luas dan isi rumah yang membawa kehangatan, namun interaksi di dalamnya yang membuat rumah menghangat.


Namun pada suatu hari, langit yang sudah lama cerah itu runtuh perlahan, Darto pulang dari kerja dengan langkah linglung. Biasanya ia langsung membuka obrolan ringan mengenai hari-harinya di pabrik, menceritakan hal sepele seperti mesin jahit yang macet atau bekal dari sang istri yang sudah ia habiskan. Tetapi hari itu, mulutnya diam, pikiran yang ramai membuatnya bingung harus berkata apa, Sari langsung tahu ada sesuatu yang salah. Darto duduk di kursi rotan dekat pintu, tangan kasarnya bergetar ketika ia menyentuh dahinya. Sari mendekat hati hati agar tidak mengejutkan suaminya. Reka yang masih duduk di lantai sambil menggambar matahari pun ikut mendongak. “Ayah kenapa?”, tanya Reka dengan polos kepada ayahnya, Darto menghela napas panjang dan menggeleng. Ia mencoba tersenyum namun bibirnya kaku, tak ingin menambah pikiran sang anak. Hari ini perusahaan mengurangi banyak pegawai dan memotong gaji sebagian besar pekerjanya, termasuk ayah Reka. Jumlah yang diambil tidak sedikit, dengan pendapatan baru itu, bertahan di rumah mereka menjadi hal yang mustahil, bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka saja akan menjadi perjuangan.


Sari memegang tangan suaminya, ia tahu betul betapa keras Darto bekerja selama ini. Betapa ia selalu datang paling pagi dan pulang paling malam, mencoba untuk bekerja ekstra dengan harapan mendapat tambahan. Berapa banyak makanan yang ia lewatkan, berapa banyak keinginan yang ia kubur agar keluarga tetap hidup layak. Namun dunia tidak selalu berpihak pada yang berusaha, dan kini semua yang sudah mereka jaga dengan sekuat tenaga tampaknya terancam runtuh. Pada malam itu, mereka berbicara panjang di ruang tamu, Reka sudah tertidur dengan buku gambar terbuka. Sari membuka pembicaraan dengan berat, “Kita bisa apa mas, 6 juta untuk bayar uang sewa rumah, sisa 2 juta mas”, ucap Sari dengan suara yang nyaris tenggelam, Darto menunduk dan menggosok kedua tangannya, mencoba menenangkan istrinya. “Maaf sayang, aku sudah hitung, kita tidak bisa membayar rumah untuk bulan depan, kita harus pindah, maafin aku sayang, aku ga bisa ngasi kamu kehidupan yang enak”, ucap Darto lirih, tiap kata maaf yang ia ucapkan, ada hati yang ia kuatkan, mati matian ia menahan agar tidak memangis. Sari terdiam lama, bingung apa yang harus ia katakan, perasaannya menguasai pikirannya. Bayangan meninggalkan rumah yang sudah ia huni sejak awal mereka menikah membuatnya sesak, berapa banyak memori yang telah di ukir, dan harus ia tinggalkan. Ia berusaha agar tidak menangis, ia tak ingin menambah rasa sakit pada suaminya, ia tahu bukan saatnya memikirkan perasaannya sendiri. Ia menatap Darto dengan mata yang tegas namun hangat. “Kalau itu yang harus kita lakukan, kita jalanin bareng bareng ya mas. Yang penting kita tetap berasama ya..” ujar istrinya dengan lirih. Malam itu, mereka berpelukan, mencoba saling menguatkan meski sama sama runtuh.


Beberapa hari kemudian, mereka mulai mengemas barang barang. Reka sempat bertanya mengapa semua barang dimasukkan ke dalam kardus. Sari menjelaskan bahwa mereka akan pindah ke rumah baru, Reka mengangguk kecil, ia tidak mengerti sepenuhnya, tetapi ia tahu keluarganya sedang menghadapi masalah. Rumah baru yang mereka tempati berada di ujung gang sempit. Atapnya rendah dan berderak saat angin bertiup kencang. Lantainya berbeda tinggi sehingga setiap kali berjalan harus hati hati agar tidak terpeleset. Namun rumah itu memberi mereka kesempatan untuk memulai lagi, meski dengan lebih banyak batasan.


Darto bangun jauh lebih pagi dari biasanya, ia mencoba mencari pekerjaan sampingan, apa saja yang bisa menghasilkan uang. Ia membantu mengangkut barang di pasar, memperbaiki pintu orang, hingga memasang banner kecil di pinggir jalan, meski upah yang ia dapatkan kecil, namun setidaknya ia mendapat tambahan. Usai ia bekerja, ia selalu kembali pulang membawa peluh, tetapi tidak pernah membawa keluhan. Sari pun ikut membantu, ia menerima pesanan kue kecil kecilan. Ia bahkan membuat sabun cuci cair dari bahan sederhana untuk dijual. Semua itu dilakukan sambil tetap menjaga agar Reka tidak merasa berbeda dari anak lain. Reka diberi bekal sederhana, kadang hanya nasi dengan telur setengah matang atau roti tawar yang diisi selai buatan Sari sendiri. Namun Sari selalu memastikan bahwa Reka tetap pergi ke sekolah dengan hati ringan, ia tak ingin mengotori kehidupan anaknya dengan masalah yang mereka hadapi.


“Aku mau sepatu baru Bu, sepatu yang ada logo centangnya itu lho Bu!”, Reka dengan semangat berujar kepada sang ibu, sang ibu terdiam sejenak, ia tak ada uang untuk membelikan Reka sepatu, tak ingin membuat anaknya kecewa, sang ibu tertawa dan berkata “Apa yang Reka maksud, sepatu logo centang itu apa sayang” tawanya membangkitkan suasana, tetapi hatinya tetap terasa berat. Sari membelai rambut anaknya sambil tersenyum pelan. Sepatu lamanya masih layak digunakan. Ia tahu Reka ingin sepatu baru karena melihat teman temannya memakai sepatu serupa. Mata Reka begitu penuh harap. Sari menarik napas dalam. “Kalau Reka sabar, suatu hari kita bisa beli yang lebih bagus dari sepatu lampu. Tapi sekarang kita pakai dulu yang ini ya. Ini masih kuat dan masih bisa menemani Reka berlari”, ujar sang ibu kepada Reka, Reka terdiam sebentar tetapi akhirnya mengangguk. Bukan karena ia tidak ingin sepatu itu namun karena ia sangat percaya pada ibunya, kepercayaan itu membuat Sari hampir menangis.


Untuk beberapa bulan, hidup mereka berlangsung seperti itu, irit, ketat, dan penuh penyesuaian. Setiap rupiah dihitung seolah nyawa bertumpu di atasnya, namun cinta membuat semua itu tidak terasa pahit, mereka menjalani semuanya bersama, tanpa saling menyalahkan. Namun tidak semuanya berjalan mulus, pada suatu sore, ketika Darto bekerja mengangkut barang di pasar, ia jatuh tergelincir karena lantai licin, kaki kanannya terkilir, ia tidak bisa berjalan tanpa rasa sakit. Sari yang menerima telepon langsung berlari menuju pasar dengan wajah pucat, Darto akhirnya dibawa pulang dengan bantuan beberapa pedagang. Dengan kaki seperti itu, mencari pekerjaan tambahan menjadi mustahil. Darto merasa dirinya kembali gagal, ia duduk di kamarnya sambil memandangi dinding yang retak. Ia mencoba menahan air mata tetapi gagal. Sari masuk dan duduk di sampingnya, menggenggam tangan Darto, mencoba menyalurkan kehangatan dan sisa semangat yang ia miliki, ia mengerti apa yang terjadi, suaminya merasa kecil lagi, merasa gagal lagi. Darto menatap istrinya, dalam tatapan itu, ia menemukan kekuatan. Namun tetap saja, kenyataan tidak berubah, ia harus istirahat lama dan pendapatan mereka kembali terancam hilang.


Sari semakin aktif menerima pesanan kue, memilh untuk lebih kerja berjuang dari pada diam di dalam garis batasan. Ia membuat puluhan kue setiap pagi meski dapur rumah kontrakan kecil itu terkadang menjadi sangat sempit. Uap panas memenuhi ruangan, membuatnya sesak, tak ada cukup ventilasi udara di rumah ini. Tetapi ia tetap bertahan, demi dirinya, dan keluarga kecilnya. Reka, pulang dari sekolah, membantu mencuci wadah dan menyapu lantai, ia tidak pernah mengeluh. Semakin hari ia semakin mengerti bahwa keluarganya sedang berjuang, dan ia ingin ikut membantu meski caranya sederhana.


Suatu malam, Sari tertidur di meja dapur dengan tangan masih memegang spatula. Darto yang terbangun karena tidak merasa istrinya tidur di sebelahnya, ia dengan matanya sendiri melihat itu. Pandangannya kabur bukan karena lelah tetapi karena perasaan bersalah yang menumpuk, ia hampir menangis lagi. Ia ingin berdiri, membantu istrinya, tetapi rasa sakit di kakinya menghalanginya. Namun perlahan, kaki itu membaik, Darto mulai berjalan seperti biasa. Saat ia sudah cukup kuat, ia memutuskan mencari pekerjaan lagi meski masih harus berlangkah dengan hati hati. Kali ini ia mendatangi pabrik tekstil yang lebih besar dan modern di pinggir kota. Ia membawa berkas lamanya meski sudah kusam, mencoba peruntungan agar dapat memutar roda kehidupan. Wawancara tidak berjalan mulus, ia bersaing dengan banyak orang. Namun keberuntungannya berubah ketika salah satu supervisor mengenali Darto sebagai pekerja lama dari pabrik sebelumnya ia bekerja. Ia ingat Darto sebagai pekerja rajin dan rapi.


Beberapa hari kemudian, Darto menerima kabar bahwa ia diterima bekerja. Tuhan menjawab doanya, ia mendapat gaji lebih besar dari pekerjaan sebelumnya. Darto ingin berteriak namun suaranya tercekat, ia hanya bisa tersenyum lebar sambil memandangi telepon di tangannya, ingi segera menghubungi sang istri, ia pasti akan melompat lompat dengan gembira. Ketika ia pulang, ia langsung memeluk Sari dan Reka, bahagaia ia rasakan, mungkin ini adalah hari terbaiknya selama ini. Sepasang suami istri itu menangis, namun kali ini bukan karena sedih, mereka merasa dunia yang selama ini mengurung mereka dengan keras akhirnya perlahan membuka pintu kecil untuk masuknya cahaya. Kehidupan mereka mulai stabil. Mereka bisa membeli makanan lebih layak. Reka mendapat tas baru untuk sekolah. Sari bisa mengurangi pesanan kue agar tidak terlalu lelah. Mereka bahkan mulai menabung perlahan untuk pindah ke rumah yang lebih baik.


Namun pada suatu hari, saat mereka sedang merapikan berkas lama di lemari rumah kontrakan, Sari menemukan amplop kecokelatan yang sudah kusut. Ia membukanya dan menemukan secarik kertas lusuh yang ditulis dengan tulisan tangan, tulisan itu bukan miliknya dan bukan tulisan Darto. Ia membaca isinya dengan alis mengerut.


Untuk keluarga kecil yang tinggal di sini,

Jangan kaget kalau suatu hari hidup kalian berubah. Rumah ini menyempitkan langit kalian tetapi akan membuka jalan untuk masa depan yang lebih luas, tinggallah di sini sampai kalian menemukan langkah baru. Aku tidak meminta apa pun, aku hanya ingin ada yang melanjutkan harapan yang pernah hilang di rumah ini.

Ini adalah bagian dari janji yang tidak pernah sempat aku tepati.        

       

Sari memanggil Darto dengan suara gemetar. Mereka membaca surat itu bersama, Reka ikut mendekat, Reka tak paham apa yang terjadi, ia memilih diam, ikut membaca meski tak paham. Darto menggeleng, ia pun bingung, namun pemilik lama rumah itu tidak pernah muncul sejak mereka pindah. Pemilik kontrakan yang mereka bayar setiap bulan adalah seorang pria yang hanya berkomunikasi lewat telepon, tidak pernah datang langsung. Dan kini mereka mulai menyadari bahwa harga kontrakan itu terlalu murah untuk ukuran rumah, bahkan untuk rumah sederhana, jauh lebih murah dari yang seharusnya. Sari menatap surat itu sekali lagi. Ada sesuatu yang tidak pernah mereka tahu, mungkin orang yang dulu menempati rumah itu mengalami nasib yang mirip dengan mereka, mungkin ia pernah berjuang keras namun gagal menepati janji untuk keluarganya sendiri, mungkin ia ingin keluarga lain bisa mendapatkan awal baru di tempat yang sama.


Darto menggenggam surat itu erat. Ia memandang sekeliling rumah yang selama ini mereka anggap sebagai tempat sementara. Ternyata rumah itu pernah menjadi saksi perjuangan keluarga lain, dan mereka kini menjadi bagian dari kisah itu. Kejutan ini membuat mereka terdiam lama, rumah yang menyempitkan langit ternyata bukan kutukan seperti yang mereka kira, rumah itu adalah warisan harapan dari seseorang yang mereka tak pernah kenal, seseorang yang ingin menebus janji yang gagal ia tepati lewat keluarga lain.


Saat mereka berdiri di tengah ruangan, langit sore terlihat dari jendela kecil rumah itu, dan entah mengapa, langit yang dulu terasa sempit kini terlihat lebih luas dari sebelumnya. Mereka tidak tahu siapa penolong tanpa nama itu, namun mereka tahu bahwa hidup ini selalu menyimpan cerita yang saling terhubung, meski benangnya tidak selalu terlihat. Darto memeluk Sari dan Reka, ia berbisik pelan “Kita sudah melewati banyak hal, dan kita akan menjalani hidup baru dengan lebih kuat. Rumah ini mungkin tidak besar, tetapi harapan yang ditinggalkan di sini telah menjadi milik kita. Terimakasih telah memilih untuk berjuang bersama” Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka merasa bahwa langkah mereka benar benar mengarah pada masa depan yang lebih terang.