Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Amelia Amaya dan Hujan Terakhirnya

👤 Evan Aditya Dharmawan 🏫 XI-10 🆔 25583

Hujan adalah bahasa rahasia Amelia Amaya. Sejak kecil, dia mendengarnya berbisik di malam-malam sunyi, ketika dunia di sekitarnya terasa seperti sangkar besi yang dingin. Di usia tujuh tahun, Ame kecil duduk di kursi belakang mobil ayahnya, jari-jarinya yang ramping menekan kaca jendela yang berembun. Di luar, rintik hujan menari pelan, seperti air mata yang tak pernah dia izinkan jatuh. Setiap tetes yang mengalir di kaca terasa seperti cerita yang tak pernah selesai, cerita tentang dirinya yang selalu salah, selalu kurang.

"Ame, jangan main-main di jendela, nanti kotor," tegur ibunya dari kursi depan tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. Suaranya datar, seperti mesin yang sudah terprogram untuk menegur. Ame menarik tangannya, jemari kecilnya mengepal di pangkuan. Dia ingin bilang bahwa tadi di sekolah, Bu Guru memuji gambarnya, hutan kelam dengan langit mendung yang penuh rahasia. Tapi yang dia bawa pulang hanyalah rapor dengan nilai matematika satu angka di bawah sempurna. Satu angka yang terasa seperti jurang.

Malam itu, di meja makan yang dingin, ayahnya menatapnya dengan mata setajam pisau bedah. "Anak Pak Sya harus selalu ranking satu," katanya, suaranya rendah namun penuh tekanan, seperti tali yang perlahan mencekik. Ame mengangguk, lidahnya kering seperti kertas gosong. Dia ingin menceritakan tentang anak di kelas yang menangis karena diejek teman-temannya, tentang permen di sakunya yang ingin dia berikan untuk menghibur, tentang pelajaran sejarah hari ini yang bercerita tentang burung dalam sangkar emas yang tak pernah bernyanyi. Tapi semua kata itu menguap, lenyap ke udara yang penuh ekspektasi.

Di kamarnya, Ame kecil duduk di sudut ranjang, memeluk lututnya. Hujan di luar jendela terus berbisik, memanggilnya untuk keluar, untuk lari, untuk bebas. Tapi pintu kamar terkunci, dan di luar pintu, ada ayah dan ibu yang menunggu dengan daftar panjang harapan. Ame menarik napas, menahan air mata yang tak pernah dia izinkan jatuh. Di bawah bantalnya, dia menyimpan kertas-kertas kecil penuh coretan puisi tentang hujan, tentang langit yang menangis, tentang dirinya yang ingin menghilang.

Tahun-tahun berlalu seperti deretan angka di rapor yang harus sempurna. Setiap malam, Ame belajar hingga larut, tangannya gemetar menahan kantuk, matanya perih menatap buku-buku yang terasa seperti batu nisan. Di kelas 2 SMA, dia sudah terlatih untuk menjadi bayangan dari harapan orang tuanya. Wajahnya pucat, matanya berkantung, bibirnya terkunci seperti pintu besi yang berkarat. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang masih hidup, meski lemah, seperti nyala lilin di tengah badai.

Suatu sore, teman sebangkunya, Rara, mendorong selembar kertas ke arahnya. Di kertas itu ada gambar topeng teater yang tersenyum dan menangis. "Ayo ikut ekskul teater! Kamu kan suka nulis puisi. Pasti cocok!" Rara tersenyum lebar, matanya penuh cahaya yang asing bagi Ame.

"Ame tidak boleh ikut kegiatan tidak penting," potongnya cepat, suaranya datar, seperti rekaman usang yang diputar berulang-ulang. Kata-kata itu bukan miliknya, itu adalah suara ibunya, yang pernah memotong harapan Ame untuk mengikuti kelas seni saat guru BK menyarankannya. Rara mengerutkan kening, alisnya terangkat penuh tanya. "Kamu ini robot apa manusia sih?"

Pertanyaan itu menancap di kepala Ame seperti paku berkarat. Malam itu, di kamar mandi sekolah yang sepi, dia menatap cermin. Wajahnya pucat seperti kertas kosong, matanya gelap seperti sumur yang tak pernah disentuh cahaya. Air keran mengalir dingin di tangannya, tapi tak bisa mencuci perih yang menggerogoti dadanya. Dia membayangkan dirinya pecah seperti cermin itu, serpihan-serpihannya beterbangan bebas di bawah hujan. Tapi bayangan itu lenyap begitu bel pulang berbunyi, dan dia kembali ke dunia yang menuntut kesempurnaan.

Hujan turun lagi di hari ulang tahunnya yang ke-17. Tidak ada kue, tidak ada lilin, hanya ayah yang marah karena nilai kimianya turun dua poin dari sempurna. "Kamu pikir kami membesarkanmu untuk jadi medioker?" bentaknya, suaranya seperti cambuk yang memecah udara. Di dapur, ibunya sibuk menghitung biaya les tambahan, jari-jarinya mengetuk meja seperti detik jam yang menghitung mundur hidup Ame. Ame berdiri seperti patung, tubuhnya kaku, tapi di kepalanya, suara kecilnya menjerit, memohon untuk didengar. Tidak ada yang mendengar.

Malam itu, dia menyelinap keluar rumah. Hujan membasahi rambutnya yang terurai, jaket sekolahnya yang basah melekat di kulit seperti pelukan yang terlalu erat. Di taman sepi, dia menengadahkan wajah, membiarkan air hujan bercampur dengan air mata yang akhirnya meleleh bebas. Untuk sesaat, dunia terasa lembut. Hujan membelai wajahnya, berbisik tentang kebebasan, tentang menjadi tetes air yang jatuh tanpa beban. Dia ingin tetap di sana, larut dalam hujan, menjadi bagian dari langit yang tak pernah dimarahi karena menangis.

Tapi ponselnya bergetar, memecah ilusi itu. Pesan dari ibu, "Pulang sekarang. Besok ada tryout jam 5 pagi." Ame menatap layar ponsel yang basah, jari-jarinya gemetar. Dia ingin membalas, ingin menulis bahwa dia lelah, bahwa dia bukan mesin, bahwa dia hanya ingin hidup. Tapi dia hanya mematikan ponsel, membiarkan hujan menenggelamkan suara ibunya untuk satu malam lagi.

Tekanan itu tak pernah reda. Di kelas 3 SMA, Ame hidup seperti bayangan yang diprogram untuk mengejar nilai sempurna. Setiap malam, dia duduk di meja belajarnya, dikelilingi tumpukan buku yang terasa seperti tembok penjara. Di sudut kamarnya, di bawah bantal, puisi-puisinya bertumpuk, kertas-kertas penuh kata tentang hujan, tentang burung yang patah sayapnya, tentang dirinya yang terkunci di dalam sangkar emas ayahnya. Dia tak pernah menunjukkan puisi-puisi itu kepada siapa pun. Mereka terlalu rapuh, terlalu nyata, seperti cermin yang akan pecah jika disentuh.

Rara, yang masih berusaha berteman dengannya, pernah mencuri salah satu kertas itu dari laci mejanya. "Ame, ini bagus banget," katanya dengan mata berbinar. "Kamu harus ikut lomba puisi. Atau setidaknya baca ini di ekskul teater!" Ame hanya menggeleng, wajahnya dingin seperti marmer. "Buang-buang waktu," jawabnya, mengulang kata-kata ayahnya seperti mantra. Tapi di dalam dadanya, hatinya menjerit, memohon untuk didengar, untuk diizinkan bernyanyi.

Di sekolah, dia adalah siswa teladan, patung sempurna yang diukir oleh tangan-tangan orang tua dan guru. Tapi di kamar mandi, di bawah air keran yang dingin, dia menatap cermin dan bertanya pada bayangannya sendiri,,Apa aku masih hidup? Bayangannya tidak menjawab. Hanya hujan di luar yang terus berbisik, memanggilnya untuk keluar, untuk larut dalam pelukannya.

Kegagalannya masuk fakultas kedokteran menjadi palu godam terakhir. Pengumuman itu datang seperti petir di siang hari, memecah dunia yang sudah rapuh. Ayahnya memecahkan vas bunga di ruang tamu, serpihannya berhamburan seperti mimpi-mimpi Ame yang hancur. "Kami malu!" teriaknya, suaranya seperti pisau yang memutus tali terakhir yang mengikat Ame pada dunia ini. Ibunya menangis histeris, seperti Ame telah membunuh seseorang, seperti Ame telah membunuh harapan mereka. Tapi Ame tidak membela diri. Dia hanya berdiri, matanya kosong, hatinya pecah seperti kaca di bawah hujan.

Di kamarnya, dia menatap tumpukan buku yang selama ini menjadi penjaranya. Matematika, kimia, biologi, buku-buku itu adalah rantai yang mengikatnya sejak kecil. Di bawah bantal, puisi-puisinya masih ada, kertas-kertas yang basah karena atap kamarnya bocor. Dia mengambil salah satu kertas, membaca kata-katanya sendiri, "Aku ingin sekali jadi air hujan, jatuh, menghilang, menguap, tanpa ada yang bertanya kenapa." Kata-kata itu terasa seperti doa yang tak pernah didengar. Dengan suara terisak tangis ia membaca puisi nya,

Aku ingin sekali jadi air hujan,

Jatuh lembut dari kelabu awan,

Menghilang di tanah yang dingin kelam,

Tanpa suara, tanpa harap yang datang.

Tetesku meresap di sela batu,

Menyapa bumi dalam diam yang pilu,

Menguap perlahan, menuju kalbu,

Tanpa ada yang bertanya kenapa, ragu.

Seperti hujan yang luruh di malam sepi,

Aku ingin pergi, tak meninggalkan bekas,

Hanya dingin yang tersisa di hati,

Tanpa nama, tanpa alasan yang terucap.

Oh, air hujan, kau bebas merindu,

Jatuh, hilang, kembali ke awan biru,

Aku pun ingin lepas dari luka,

Melupa dunia, tanpa nestapa yang nyata.

Biar ku jatuh, biar ku menguap,

Tanpa beban, tanpa air mata yang kauap,

Seperti hujan yang tak pernah ditanya,

Aku ingin lenyap, dalam sunyi selamanya.

Di pelukan angin, ku terbang kelabu,

Menjadi embun, menyapa daun yang layu,

Tak ada yang tahu, tak ada yang peduli,

Hanya hujan, saksi duka di kalbu.

Malam itu, langit mengamuk. Petir mengoyak langit seperti jeritan yang akhirnya pecah. Ame keluar rumah dengan kaos oblong tipis, tanpa payung, tanpa tujuan. Jalanan sepi, basah oleh hujan deras yang mencurah seperti air mata dunia. Lampu jalan berkedip seperti bintang-bintang yang tertusuk, cahayanya redup dan penuh luka. Ame berjalan pelan ke tengah jalan raya, tubuhnya ringan seolah semua beban telah dicuci hujan. Rambutnya menempel di wajahnya, matanya terbuka lebar, menatap langit yang menangis bersamanya.

Dari kejauhan, lampu truk mendekat seperti bulan yang jatuh. Cahayanya membutakan, tapi Ame tidak menutup mata. Dia tidak takut. Di detik-detik terakhir, dia membayangkan dirinya kecil, berlari di bawah hujan, tertawa bebas tanpa ada yang melarang. Dia membayangkan puisi-puisinya terbaca, suaranya didengar, hatinya disentuh. Dentuman itu keras, seperti petir yang akhirnya menemukan sasaran. Hujan segera menyapu merah di aspal, mencuci sisa-sisa hidup yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya.

Pagi harinya, polisi datang ke rumah keluarga Amaya. Mereka menemukan diary Ame di kamarnya, halamannya basah karena atap yang bocor. Di halaman terakhir, tertulis kata-kata yang ditulis dengan tangan gemetar, "Aku ingin sekali jadi air hujan, jatuh, menghilang, menguap, tanpa ada yang bertanya kenapa." Di luar, hujan terus turun, meratapi gadis yang baru bebas setelah mati. Langit menangis untuk Ame, untuk puisi-puisinya yang tak pernah dibaca, untuk suaranya yang tak pernah didengar. Hujan adalah bahasa rahasianya, dan kini, dia menjadi bagian darinya jatuh, menghilang, menguap, tanpa ada yang bertanya kenapa. Dan sampai akhir pun mereka terus dan akan selalu bersama, berirama bersama menulis kisah di setiap rintiknya.

Selamat jalan Amelia Amaya