Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Sampai Dunia Tidak Lagi Menggema

👤 Made Genanra Sastraguna Santika 🏫 XI-11 🆔 26012

Aku selalu membayangkan pulang sebagai sesuatu yang hangat. Dalam pikiranku dulu, pulang adalah pelukan ibu, aroma air hujan yang menempel pada tanah depan rumah, bunyi sendok dan piring di dapur. Tapi kenyataannya, ketika aku akhirnya memijakkan kaki kembali di tempat yang kusebut rumah, yang kurasakan hanyalah kehampaan. Bukan karena rumahnya berubah—aku yang berubah.


Kota itu sama. Bangunan-bangunan tetap berdiri seperti dulu, jalanan tetap penuh dengan suara motor yang berlalu-lalang, anak-anak kecil still berlarian sambil menjerit senang. Tapi semua suara itu masuk ke kepalaku seperti peluru nyasar. Terlalu keras, terlalu tiba-tiba, terlalu akrab dengan sesuatu yang tidak seharusnya ada di sini.


Aku turun dari mobil tentara yang menurunkanku di depan gang. Sopirnya memberi salam singkat, dan aku membalas, tapi tanpa benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya kulakukan. Tanganku sedikit bergetar—kebiasaan yang sudah enam bulan menempel, seperti dosa yang menolak pergi.


Ibuku menangis waktu melihatku. Bukan tangis bahagia—lebih seperti tangis lega bercampur takut, seperti ia takut aku hanya ilusi dan bisa menghilang kapan saja. Ia memelukku kuat sekali. Aku mengangkat tanganku, mencoba membalas, tapi tubuhku kaku. Pelukan terasa asing, seperti sesuatu yang dulu kukenal tapi sekarang tidak lagi kupahami.


Malam pertamaku di rumah adalah malam yang membuatku sadar bahwa perang tidak pernah benar-benar selesai. Setidaknya, tidak selama ia masih hidup di kepalaku.


Aku terbangun karena suara petasan kecil dari anak-anak tetangga. Mereka mungkin merayakan sesuatu, entahlah. Tapi bagiku, suara itu adalah ledakan mortar yang pernah kubilang akan terus menghantuiku. Dadaku menegang seperti diremas tangan besar. Dengungan tinggi mengisi kepalaku. Aku terjatuh dari ranjang, lalu merangkak ke bawah meja, gemetar, memeluk lututku seperti seorang bocah yang ketakutan.


Ibuku menemukan aku di sana. Ia panik. Ia memanggilku berkali-kali. Tapi aku tidak mendengar apa pun selain suara perang yang kembali, keras, brutal, dan tanpa belas kasih.


Aku tidur dua jam malam itu. Sisanya aku terjaga, memandangi dinding dan berharap aku bisa mematikannya—suara itu, ingatan itu, semuanya.




Aku mencoba hidup normal. Setidaknya, aku mencoba terlihat normal.


Pagi-pagi, aku duduk di teras sambil minum teh. Tapi setiap motor lewat membuatku waspada. Setiap pintu toko yang dibuka keras membuat tubuhku merespons seolah sedang disergap. Orang-orang menatapku ketika aku tiba-tiba terpaku di tengah jalan, memegangi dada, berusaha memastikan bahwa aku memang berada di dunia yang sama dengan mereka.


Aku pergi ke minimarket suatu hari. Aku mencoba menyapa kasir, ia tersenyum hangat. Aku ingin merespons, bahkan memaksakan senyum, tapi tanganku gemetar saat mengambil uang dari dompet. Kasir itu sempat melihatnya. Ia pura-pura tidak peduli, tapi aku bisa melihat sorot matanya: kasihan bercampur canggung.


Saat itulah seorang anak menangis karena menjatuhkan botol kaca. Suaranya pecah keras di lantai.


Aku terjatuh. Lututku menghantam keramik. Nafasku tercekat.


Aku langsung keluar tanpa membeli apa pun.


Itu hari terakhir aku mencoba masuk ke minimarket selama beberapa bulan.




Malam hari adalah jam-jam ketika aku berperang sendirian.


Aku tidur sebentar, hanya untuk dibangunkan oleh bayangan—bayangan wajah-wajah yang hilang. Aku mendengar kembali jeritan rekan satu regu, memanggil namaku, lalu suara desingan peluru yang memutuskan segalanya.


Kadang aku bangun sambil berteriak. Kadang sambil menangis. Kadang sambil menendang udara, seolah seseorang sedang menahan tubuhku.


Aku membenci tidur.


Tapi aku lebih membenci terjaga.


Karena saat terjaga, aku sadar semua itu nyata.




Hingga akhirnya, aku bertemu dia.


Aku tidak pernah mencari seseorang. Aku tidak ingin satu pun orang masuk dalam lingkaranku yang gelap. Tapi suatu sore, aku memaksakan diri keluar rumah, berharap udara segar bisa menenangkan kepalaku yang terasa penuh dan berat.


Aku pergi ke taman kecil dekat sungai. Tidak banyak orang di sana. Hanya angin lembut, suara air, dan beberapa burung.


Lalu aku melihatnya.


Ia duduk di sebuah bangku, membaca buku. Rambutnya tersapu angin ringan. Ekspresinya tenang, seperti seseorang yang tinggal di dunia yang jauh lebih lembut daripada tempatku berasal.


Aku mencoba melewati bangku itu tanpa suara. Tapi botol minumku jatuh. Tangan kiriku kembali bergetar, sesuatu yang membuatku malu setiap kali terjadi.


Ia menoleh, lalu tersenyum.


Senyum yang tidak keras, tidak menghakimi, dan tidak mencoba menembus pertahananku. Hanya… hangat.


“Tidak apa-apa,” katanya. “Kadang kita memang menjatuhkan banyak hal.”


Kalimat itu sederhana, tapi meresap. Tidak ada kasihan. Tidak ada rasa ingin tahu. Tidak ada pertanyaan tentang perang atau lukanya.


Hanya penerimaan.


Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bisa mengangguk tanpa merasa ingin kabur.




Keesokan harinya aku kembali ke taman itu. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena tempat itu sunyi. Mungkin karena aku ingin mencoba hari biasa untuk sekali saja. Mungkin karena aku ingin berhasil melakukan sesuatu tanpa takut.


Tapi ketika aku tiba, ia ada di sana lagi.


“Ke sini lagi?” katanya sambil menutup bukunya.


Aku hanya mengangguk.


Ia tertawa pelan. “Aku kira aku satu-satunya orang yang suka duduk lama di sini.”


“Tidak,” jawabku. Suaraku sedikit serak, tapi ia tidak terlihat terganggu.


Aku duduk beberapa meter darinya. Tidak terlalu dekat, tidak terlalu jauh. Tapi anehnya, aku merasa aman. Lebih aman daripada di rumahku sendiri.


Hari itu kami berbicara sedikit—hanya tentang angin, burung yang lewat, buku yang ia baca. Tidak ada hal besar. Tapi untuk seseorang sepertiku, percakapan kecil seperti itu adalah langkah besar.


Langkah yang tidak kusangka akan membawaku jauh.




Hari-hari setelah itu menjadi semacam rutinitas aneh. Aku datang ke taman, dan ia selalu ada. Kadang lebih dulu dariku, kadang setelahku. Tapi kami selalu bertemu.


Namanya Liora.


Aku baru tahu setelah hari keempat.


“Aku Ardan,” kataku saat itu.


Ia tersenyum. “Aku sudah menebak. Kamu punya wajah orang yang disapa dengan nama itu.”


Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi aku tidak bertanya.


Liora punya cara berbicara yang tenang, tidak terburu-buru, dan tidak pernah memaksaku membuka sesuatu yang tidak ingin kubuka. Ia tidak pernah bertanya soal tanganku yang gemetar. Tidak pernah menanyakan kenapa aku kadang tiba-tiba terdiam, memandangi sungai seperti melihat sesuatu yang tidak ada di sana.


Ia hanya ada di sana. Menemani tanpa menuntut.


Dan entah bagaimana, kehadirannya seperti jembatan kecil yang menghubungkan aku—yang rusak—dengan dunia yang selalu kutakuti.




Namun dunia tetap tidak selalu bersahabat denganku.


Aku masih mengalami serangan panik sewaktu-waktu. Suara mobil besar bisa membuatku mematung. Suara petasan bisa membuatku berkeringat dingin. Kadang, saat aku berjalan dengan Liora, aku bisa tiba-tiba membeku karena sesuatu memicu ingatanku.


Suatu sore, saat kami berjalan di trotoar, sebuah motor dengan knalpot keras melintas. Suaranya meledak seperti granat meletus tepat di samping telingaku.


Tubuhku langsung bertekuk. Pandanganku berputar. Nafasku terputus.


Dalam pikiranku, aku kembali berada di gubuk kecil tempat tim medis kami bersembunyi saat serangan malam. Aku kembali melihat cahaya merah dari penembak lawan. Aku kembali merasakan bau darah dan debu.


Tapi di tengah semua kekacauan itu, aku merasakan sesuatu.


Jari.


Sebuah tangan kecil menggenggam tanganku.


“Aku di sini,” suara Liora pelan. “Tarik napas. Perlahan.”


Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Tapi aku merasa keberadaannya—seperti jangkar kecil yang membuatku menyadari bahwa aku masih di dunia ini.


Aku menarik napas, walaupun dada terasa sakit. Ia tetap memegang tanganku sampai aku kembali sepenuhnya.


Setelah semuanya reda, aku minta maaf.


Aku memintanya dengan suara putus, hampir seperti seseorang yang mengaku gagal hidup.


“Maaf, Liora… aku tidak bisa—”


Ia memotong dengan cepat, namun lembut.


“Kamu tidak perlu minta maaf untuk sesuatu yang bukan salahmu.”


Aku menunduk.


“Ardan,” katanya lagi, “kamu tidak harus baik-baik saja setiap waktu. Tidak ada seorang pun yang bisa.”


Dan entah bagaimana, kalimat itu membuat dadaku terasa ringan. Sedikit saja. Tapi cukup untuk membuatku bertahan.




Ada malam ketika aku hampir kembali tenggelam.


Hari itu hujan deras. Aku tidak pergi ke taman. Aku tidur lebih awal, berharap mataku bisa menolak keluar dari kelelahan.


Tapi yang datang bukan tidur.


Yang datang adalah perang.


Dalam mimpi itu, aku melihat kembali satu momen yang paling tidak ingin kuingat: malam ketika kami kehilangan tiga orang. Aku berteriak meminta bala bantuan, tapi radio mati. Serangan datang dari dua sisi. Kami menembak membabi-buta dalam gelap. Temanku—Davin—jatuh tepat di depanku. Ia memegang lenganku, mencoba mengatakan sesuatu, tapi suaranya tidak keluar. Matanya memudar perlahan.


Aku bangun sambil berteriak. Nafasku memburu keras. Bajuku basah oleh keringat. Tanganku gemetar sampai-sampai aku tidak bisa memegang apa pun.


Kututup wajahku dengan kedua tangan, lalu menangis. Tidak keras. Tapi lama. Seolah air mata itu telah lama menunggu kesempatan untuk keluar.


Aku merasa tenggelam lagi.


Merasa perang itu terlalu berat untuk dilawan sendirian.


Dan mungkin… aku memang tidak bisa sendirian.


Esok paginya aku kembali ke taman. Aku tidak tahu apa yang membuatku bangkit dari tempat tidur. Mungkin kebiasaan. Mungkin karena aku menginginkan sesuatu yang membuatku merasa lebih manusiawi.


Dan ia ada di sana.


Seperti biasa.


Ketika ia melihat wajahku, ia langsung tahu.


“Kamu gak tidur, ya?”


Aku tidak menjawab. Hanya duduk di sebelahnya. Lalu tanpa sadar aku bersandar sedikit pada bangku, cukup dekat untuk merasakan kehadirannya.


“Aku mimpi buruk,” akhirnya aku berkata.


Liora menutup bukunya. “Tentang perang?”


Aku mengangguk.


Untuk pertama kalinya, aku merasa bisa mengatakannya.


“Aku tidak bisa berhenti mendengar suara mereka… orang-orang yang mati. Kadang aku merasa aku juga seharusnya mati di sana. Atau seharusnya aku bisa menyelamatkan mereka…”


Tanganku mengepal tanpa sadar.


“Kadang aku merasa tidak pantas pulang.”


Liora diam lama. Tapi bukan diam yang membuat canggung. Lebih seperti diam seseorang yang benar-benar mendengarkan.


“Ardan,” katanya perlahan, “kau pulang bukan karena kau pantas atau tidak pantas. Kau pulang karena kau selamat. Dan itu bukan dosa.”


“Aku hanya merasa…” suaraku pecah sedikit. “…aku membawa mereka semua dalam kepala ini. Mereka tidak pergi.”


“Biarkan mereka tinggal,” jawab Liora. “Biarkan mereka jadi bagian darimu. Kamu tidak perlu melupakan. Yang kamu butuhkan hanyalah belajar hidup berdampingan dengan kenangan itu. Bukan melarikan diri.”


Aku menatapnya. Ada ketenangan di wajahnya yang tidak pernah kutemukan pada siapa pun.


Dan saat itu, aku merasa untuk pertama kalinya… aku didengar. Tidak dinilai. Tidak dikasihani. Tidak disalahkan.


Didengar.


Dan itu cukup untuk membuatku bertahan seminggu lagi.


Sebulan lagi.


Setiap hari setelah itu.




Perlahan, sesuatu dalam diriku berubah.


Aku masih punya malam-malam buruk. Masih ada suara yang memicuku. Tapi intensitasnya menurun. Bukan karena aku sembuh. Tapi karena aku tidak lagi sendirian saat menghadapinya.


Liora mengajarkanku hal-hal kecil: cara menarik napas perlahan saat panik, cara memusatkan perhatian pada satu suara agar pikiranku tidak kemana-mana, cara menerima bahwa ketakutanku adalah bagian dari diriku sekarang.


Ia mengajarkanku bahwa menjadi rusak tidak membuatku berhenti menjadi manusia.


Kami berjalan lebih jauh dari biasanya. Aku mulai bisa pergi ke toko tanpa gemetar berlebihan. Aku mulai bisa duduk di tempat ramai tanpa merasa terjebak. Aku mulai bisa tidur lebih lama, walau mimpi buruk masih sesekali datang.


Dan setiap kali aku merasa ingin kabur dari dunia, aku mendengar suaranya.


“Aku di sini.”


Itu cukup.


Lebih dari cukup.




Titik balikku terjadi saat tahun baru.


Aku benci tahun baru. Suara petasan, kembang api, teriakan orang—semuanya memicu hal-hal yang tidak ingin kuingat. Tapi tahun ini, Liora memintaku menemaninya di tepi sungai.


“Kita tidak harus dekat keramaian,” katanya. “Kita bisa lihat dari jauh.”


Aku hampir menolak. Tapi sesuatu dalam diriku ingin mencoba.


Dan ketika kembang api pertama meledak di langit, dadaku memang menegang. Lututku mulai gemetar. Tapi kali ini—aku tidak jatuh.


Aku berdiri.


Langit bergetar. Warna-warni cahaya menari di udara seperti pecahan masa lalu yang hancur.


Liora berdiri di sampingku.


“Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya.


Aku menarik napas dalam. Tidak mudah. Tapi aku menariknya juga.


Dan untuk pertama kalinya sejak aku pulang…


Aku berkata, “Ya. Aku… aku baik.”


Suaraku bergetar. Tapi aku jujur.


Aku menatap langit. Suara ledakan besar berikutnya membuatku tersentak kecil, tapi tidak memicu gambar-gambar buruk di kepalaku.


Hanya suara.


Hanya cahaya.


Hanya dunia.


Bukan perang.


Liora menggenggam tanganku.


Aku menggenggam balik, untuk pertama kalinya tanpa rasa takut ia akan melihat betapa rusaknya aku.


“Aku tidak takut lagi,” kataku pelan. “Setidaknya… malam ini.”


Liora tersenyum.


Dan dengan suara petasan mengisi udara, aku merasa sesuatu di dalam diriku—yang telah lama mati—akhirnya bergerak.


Tidak besar.


Tidak dramatis.


Tapi hidup.


Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak aku kembali dari perang, aku percaya bahwa suatu hari aku bisa pulih sepenuhnya.


Mungkin tidak besok.


Mungkin tidak bulan depan.


Tapi aku akan sampai.


Selama ada seseorang yang tetap berdiri di sisiku ketika dunia menggelegar lagi dan lagi.


Selama ada Liora.


Selama aku terus memilih untuk bangkit meski gelapnya menghampiri.


Selama aku masih bisa berkata:


“Aku di sini.”

Dan dunia perlahan berhenti menggema