Kepingan Sakura dan Senyum di Balik Luka
Di sebuah sudut kota yang ramai, hiduplah seorang remaja bernama Reno. Penampilannya jauh dari kata keren, cenderung culun dengan kacamata tebal yang selalu melorot di hidungnya, rambut berantakan, dan gaya berpakaian yang itu-itu saja. Hobinya pun terbilang unik, bahkan dianggap aneh oleh sebagian besar teman-temannya: Reno sangat mencintai budaya Jepang. Mulai dari anime, manga, J-Pop, hingga mempelajari bahasa dan sejarah Jepang, semua dilahapnya dengan antusiasme tinggi.
Kamarnya adalah sebuah portal menuju dunia lain. Poster-poster karakter anime favoritnya terpampang di dinding, rak bukunya penuh dengan koleksi manga dan novel ringan, serta meja belajarnya selalu dihiasi dengan action figure karakter kesayangannya. Setiap pulang sekolah, hal pertama yang dilakukannya adalah menyalakan komputer, memutar lagu J-Pop, dan masuk ke forum online komunitas pecinta Jepang. Di sana, Reno merasa diterima, merasa menjadi bagian dari sesuatu yang besar, jauh dari ejekan dan tatapan aneh di dunia nyata.
Sayangnya, kecintaannya pada budaya Jepang ini justru menjadi bumerang di sekolah. Reno sering menjadi sasaran bullying. "Si Wibu Bau Bawang," begitu julukan yang sering dilontarkan oleh geng Dika, trio paling berkuasa di sekolah. Dika, dengan rambut klimis dan jaket kulitnya, selalu berhasil membuat hari Reno menjadi neraka. Bersama dua anteknya, Rio dan Fadil, mereka tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengejek, mengolok-olok, bahkan tak jarang mendorong Reno hingga terjatuh.
"Hei, lihat siapa ini? Si Wibu kesepian!" ejek Dika suatu siang di kantin, saat Reno sedang asyik membaca manga terbarunya.
"Pasti lagi mikirin waifu 2D-nya ya?" timpal Rio sambil tertawa terbahak-bahak, diikuti gelak tawa Fadil.
Reno hanya bisa menunduk, berusaha mengabaikan mereka. Hatinya perih, tapi ia tahu melawan hanya akan memperburuk keadaan. Ia hanya ingin semua ini cepat berakhir.
Bukan hanya di kantin, di koridor, di kelas, bahkan di toilet, Reno tak pernah luput dari sasaran. Buku-buku manganya sering disembunyikan, kotak pensilnya dibuang ke tempat sampah, dan yang paling menyakitkan, ide-idenya tentang Jepang di pelajaran bahasa Inggris selalu diremehkan. Guru-guru pun, entah karena tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, jarang sekali bertindak tegas. Reno merasa sendirian.
Ada satu insiden yang sangat membekas di hati Reno. Saat itu, ada tugas presentasi kelompok tentang budaya asing. Reno, dengan semangat membara, mengusulkan untuk membahas festival matsuri di Jepang, lengkap dengan penjelasan detail tentang yukata, omikoshi, dan makanan khas seperti takoyaki. Teman-teman kelompoknya, yang sebagian besar adalah anggota geng Dika, hanya menatapnya dengan malas.
"Jepang lagi, Jepang lagi. Enggak ada yang lain apa?" keluh Rio.
"Nanti malah jadi presentasi anime, bukan budaya," sambung Fadil sambil terkekeh.
Dika hanya mengangkat bahu. "Terserah, Reno. Tapi kalau nilainya jelek, jangan salahin kita."
Reno berusaha sekuat tenaga membuat presentasi yang menarik. Ia begadang mencari gambar-gambar terbaik, menulis narasi yang informatif, dan bahkan menyiapkan beberapa properti kecil seperti kipas tangan bergambar sakura. Namun, saat presentasi, semua usahanya seolah tak berarti. Rio dan Fadil tampak tidak antusias, beberapa kali mereka bahkan sengaja memotong penjelasannya dengan komentar-komentar yang meremehkan. Dika hanya berdiri di sampingnya dengan wajah datar, seolah tidak ingin dihubungkan dengannya.
Ketika sesi tanya jawab, pertanyaan-pertanyaan yang muncul lebih bernada ejekan daripada keingintahuan. "Apa benar wibu itu mandinya cuma setahun sekali?" tanya salah seorang siswa, diikuti gelak tawa seisi kelas. Reno merasa wajahnya memerah padam. Hatinya hancur. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana caranya bertahan di sekolah ini sampai lulus.
Suatu hari, ada pengumuman tentang lomba cosplay di acara festival budaya sekolah. Jantung Reno berdebar kencang. Ini adalah kesempatan emas baginya untuk menunjukkan passion-nya. Ia ingin sekali ikut, ingin mengenakan kostum karakter anime favoritnya, dan tampil di depan banyak orang. Namun, bayangan ejekan Dika dan teman-temannya langsung memenuhi pikirannya.
"Kamu mau ikut lomba cosplay?" tanya Budi, satu-satunya teman Reno yang sedikit peduli, meskipun Budi sendiri tidak terlalu paham dengan hobi Reno.
Reno mengangguk ragu. "Tapi... nanti diolok-olok lagi."
Budi menghela napas. "Yah, kalau kamu suka, kenapa enggak dicoba aja? Abaikan aja omongan mereka."
Malam itu, Reno tidak bisa tidur. Ia memandangi kostum karakter Eren Yeager dari Attack on Titan yang sudah lama ingin dibuatnya. Ia sudah menghabiskan berjam-jam menonton tutorial di YouTube, mencari bahan-bahan, dan membayangkan bagaimana rasanya menjadi Eren, pahlawan yang berjuang demi kebebasan. Ada kerinduan yang membara dalam dirinya untuk bisa mengekspresikan diri tanpa rasa takut. Ia teringat kata-kata Eren, "Jika kamu ingin menang, kamu harus bertarung!" Kata-kata itu seolah membakar semangat Reno. Ia memutuskan untuk berani.
Akhirnya, setelah melalui pertimbangan panjang, Reno memutuskan untuk mendaftar. Ketika Dika dan gengnya tahu, ejekan semakin menjadi-jadi. "Wah, siap-siap ketawa nih di hari H! Pasti bakal jadi cosplay terburuk sepanjang sejarah!" kata Dika dengan nada mengejek yang membuat Reno ingin menghilang saja dari muka bumi.
Minggu-minggu berikutnya adalah neraka bagi Reno. Selain harus mempersiapkan kostum, ia juga harus menahan diri dari segala bentuk bullying yang semakin intens. Ada saat-saat ia ingin menyerah, ingin membuang semua perlengkapan cosplay-nya dan kembali menjadi Reno yang "tidak terlihat". Namun, setiap kali ia merasa putus asa, ia selalu teringat akan karakter-karakter anime favoritnya yang selalu berjuang pantang menyerah. Ia teringat Eren yang terus melangkah maju meski rintangan menghadang. Ia menggambar sketsa kostum, memotong kain, menjahit bagian demi bagian dengan tangan yang terkadang gemetar, namun hatinya penuh tekad. Ibunya, yang jarang sekali memahami hobinya, diam-diam memberikan semangat dengan membawakan camilan dan minuman saat Reno larut dalam pekerjaannya. Senyum kecil ibunya memberikan kekuatan yang tak ternilai.
Hari festival tiba. Reno datang ke sekolah dengan hati berdebar. Ia sudah mengenakan kostum Eren Yeager, lengkap dengan jubah dan pedang replika yang dibuatnya sendiri. Meski sedikit kebesaran dan terlihat agak kaku, ia merasa bangga. Ini adalah hasil kerja kerasnya, hasil dari semangatnya yang tak pernah padam.
Ketika gilirannya tiba, Reno melangkah ke atas panggung dengan langkah mantap. Lampu sorot menyorotnya, dan ia bisa melihat Dika dan gengnya duduk di barisan depan, siap menertawakannya. Reno mengambil napas dalam-dalam.
"Minna-san, konnichiwa!" sapanya dengan suara sedikit bergetar, mencoba meniru gaya bicara Eren.
Awalnya, penonton hening. Beberapa orang mulai berbisik-bisik, dan Reno bisa mendengar tawa kecil dari arah Dika. Namun, Reno tidak menyerah. Ia mulai berpose, menirukan adegan-adegan ikonik dari Attack on Titan, bahkan mencoba mengucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Jepang yang sudah ia pelajari. Ia menirukan gerakan khas Eren saat menghunus pedang, sorot matanya yang penuh tekad, dan semangat membara yang terpancar dari setiap gerakannya. Meskipun tidak sempurna, ada sesuatu dalam penampilannya yang memukau.
Di luar dugaan, penonton mulai bertepuk tangan. Tepuk tangan itu semakin lama semakin riuh. Bahkan, beberapa siswa yang tadinya ikut-ikutan menertawakan Reno, kini tampak terkesima. Reno merasa matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, ia merasa diapresiasi, bukan diolok-olok. Ia melihat ekspresi Dika yang berubah dari mengejek menjadi sedikit terkejut, bahkan mungkin sedikit kagum.
Setelah selesai tampil, Reno turun panggung dengan perasaan campur aduk. Ia bahagia, terharu, dan sedikit lega. Ia tidak menyangka responsnya akan seperti ini. Kemudian, ia melihat seorang gadis mendekatinya. Namanya Maya, siswa baru yang terkenal sangat cerdas dan pendiam. Rambutnya diikat rapi, dan ia mengenakan kacamata yang membuatnya terlihat serius.
"Itu... bagus sekali," kata Maya dengan senyum tipis. "Aku juga suka Attack on Titan. Kamu benar-benar mirip Eren."
Reno terkejut. "Kamu... juga suka anime?"
Maya mengangguk. "Tentu saja. Aku pikir aku satu-satunya di sekolah ini yang benar-benar tertarik. Aku sudah menonton semua musim dan membaca manganya sampai chapter terbaru."
Obrolan mereka berlanjut. Ternyata, Maya juga memiliki kecintaan yang sama terhadap budaya Jepang. Mereka membahas manga favorit, anime terbaru, bahkan saling merekomendasikan visual novel yang menarik. Maya dengan antusias menceritakan bagaimana ia belajar bahasa Jepang secara otodidak melalui lirik lagu dan dialog anime. Reno merasa seperti menemukan harta karun. Ia tidak sendirian.
Sejak saat itu, pertemanan Reno dan Maya semakin akrab. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di perpustakaan, di kafe, atau bahkan di rumah Reno, membahas segala hal tentang Jepang. Maya tidak pernah meremehkan Reno, justru ia selalu mendukungnya. Kehadiran Maya membuat Reno semakin percaya diri. Mereka sering menghabiskan waktu berjam-jam setelah sekolah di perpustakaan, bukan lagi untuk melarikan diri dari ejekan, tapi untuk tenggelam dalam diskusi tentang filosofi di balik karakter anime atau menganalisis plot twist dalam sebuah manga.
Suatu sore, saat mereka sedang mengerjakan tugas kelompok di rumah Reno, Maya melihat koleksi manga Reno yang sangat lengkap. "Wah, kamu punya ini juga?" seru Maya, meraih sebuah volume manga langka yang sulit ditemukan. "Aku sudah mencari ini di mana-mana!"
Reno tersenyum. "Itu hadiah dari pamanku yang sempat tinggal di Jepang."
Maya tampak sangat gembira. "Aku pinjam ya?"
"Tentu saja!" jawab Reno. Kebahagiaan Maya karena manga itu menular pada Reno.
Bullying dari Dika dan gengnya memang tidak sepenuhnya hilang, tapi intensitasnya berkurang drastis. Mungkin karena mereka melihat Reno tidak lagi sendirian, atau mungkin karena penampilan Reno di panggung festival budaya telah sedikit mengubah pandangan mereka. Bahkan, suatu hari Dika sempat mendekati Reno.
"Hei, Wibu," panggil Dika, nada suaranya tidak setajam biasanya. "Kostummu lumayan juga kemarin. Aku enggak nyangka kamu bisa sekeren itu."
Reno terdiam, tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Aku... aku cuma mau bilang, kalau kamu ada tips cosplay, kasih tahu aku ya," lanjut Dika dengan sedikit canggung, lalu pergi begitu saja.
Reno hanya bisa terbengong-bengong. Apakah ini berarti Dika mulai menunjukkan sedikit rasa hormat? Perkataan Dika itu memang singkat, namun memiliki dampak yang besar bagi Reno. Ia merasa dinding tebal yang selama ini memisahkan dirinya dari teman-teman sebayanya mulai retak.
Beberapa waktu kemudian, Dika, Rio, dan Fadil mulai menyapa Reno dengan lebih ramah. Bahkan, suatu kali Rio bertanya padanya tentang rekomendasi anime baru. Reno dengan senang hati berbagi pengetahuannya. Ia tahu, perubahan itu tidak terjadi dalam semalam, dan luka di hatinya tidak akan hilang sepenuhnya. Namun, perlahan-lahan, ia merasakan adanya penerimaan.
Waktu terus berjalan. Reno dan Maya semakin mendalami hobi mereka. Mereka bahkan mulai belajar bahasa Jepang secara serius, mengikuti kursus online dan berlatih percakapan setiap hari. Mereka berencana untuk melanjutkan studi ke Jepang setelah lulus nanti, bermimpi untuk mengunjungi kota-kota yang selama ini hanya mereka lihat di layar, menjelajahi kuil-kuil kuno, dan merasakan langsung budaya yang mereka cintai. Reno yang dulu culun dan pemalu, kini tumbuh menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Ia tidak lagi takut menunjukkan kecintaannya pada budaya Jepang. Senyumnya lebih sering terlihat, memancarkan kebahagiaan yang tulus.
Meskipun bekas luka dari bullying itu masih ada, Reno belajar bahwa setiap kepingan luka bisa diubah menjadi kekuatan. Kepingan-kepingan sakura yang bertebaran di hidupnya, yang dulu terasa pahit karena ejekan, kini bersemi indah berkat persahabatan, penerimaan, dan kepercayaan diri yang baru ia temukan. Ia menyadari, bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang menjadi orang lain, melainkan tentang berani menjadi diri sendiri, dengan segala keunikan dan passion yang dimilikinya. Dan kini, Reno tidak lagi sendirian. Ia memiliki Maya, teman sejati yang memahami dirinya, dan mimpi-mimpi besar tentang Jepang yang siap mereka raih bersama. Mereka berdua berpegangan tangan, menatap masa depan yang cerah, di bawah guguran kepingan sakura yang membawa janji kebahagiaan.