Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Cinta Yang Tak Bisa Kita Menangkan

👤 I Ketut Jelantik Kepakisan 🏫 XI-11 🆔 25762

Kesepian selalu punya tempatnya sendiri, sebuah ruang kecil di sudut hati yang jarang dijamah cahaya. Dalam hidup Jeremy Thomas, remaja yang lebih sering dipanggil Jey, kesepian itu bukan sekadar tamu, melainkan penghuni tetap. Ia hadir setiap pagi ketika alarm berbunyi terlalu cepat, setiap malam ketika kota sudah lelap, dan setiap Minggu pagi ketika langkah kakinya menuju gereja terasa lebih berat dari biasanya.


Hidup Jey jauh dari kata sempurna. Apartemen tua yang ia tinggali sering bocor ketika hujan turun terlalu deras. Atapnya menetes setiap malam, dan ia sudah terbiasa menampung airnya dengan ember biru yang ia letakkan di pojok kamar. Motor tua miliknya juga sering rewel, kadang mogok, kadang tiba-tiba berhenti tanpa alasan. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Ia sudah terlatih hidup mandiri sejak kedua orang tuanya pindah ke luar kota demi pekerjaan, meninggalkannya sendirian dengan beberapa lembar pesan untuk tetap menjaga diri.


Meski begitu, di sekolah Jey tampil sebagai sosok yang sangat berbeda. Ia cerewet, suka mengganggu Nichole, sahabatnya sejak SMP dan mudah disukai banyak orang karena tingkahnya yang seenaknya sendiri. Banyak yang mengira hidupnya ringan, seolah ia tidak pernah punya alasan untuk merasa sedih. Padahal, begitu pintu apartemennya tertutup, dunia kembali sunyi. Hanya suara kipas angin tua yang berputar pelan mengisi kekosongan.


Hari-hari berjalan begitu saja sampai sebuah desas-desus kecil menyelinap di antara keramaian sekolah.


“Katanya, ada murid baru.”

“Cantik banget, putih banget, kayak model.”

“Anaknya halus, kayak ningrat.”


Gosip itu masuk ke telinga Jey sambil lewat. Ia hanya menanggapi dengan anggukan malas. Ia tidak peduli. Hidupnya terlalu penuh untuk memikirkan rumor-rumor seperti itu. Tapi semesta memang suka bermain-main, karena tanpa ia sadari, rumor itu adalah benang halus yang pelan-pelan menariknya menuju sesuatu yang selama ini tidak pernah ia bayangkan.


Siang itu di kantin, suasananya seperti biasa, ramai, bau ayam goreng, suara kursi diseret, piring beradu. Jey baru membeli es teh yang dinginnya menusuk telapak tangannya. Ia baru duduk, baru ingin meminumnya, ketika seseorang menabraknya cukup keras dari samping.


Gelasnya jatuh. Es teh tumpah. Seragamnya basah.


Refleks, Jey menoleh dengan wajah hampir marah. “Hei, lu…”


Tapi kata-kata itu berhenti ketika matanya bertemu sepasang mata lain.


Mata yang jernih. Mata yang seolah memantulkan kepanikan dan rasa bersalah yang tulus.


“Aduh maaf banget! Aku nggak lihat jalan!” suara itu terdengar lembut, bahkan dalam keadaan panik sekalipun.


Gadis itu berdiri di depan Jey dengan rambut panjang tergerai, kulitnya cerah, seragamnya rapi meski baru beberapa jam masuk sekolah. Ada cara ia memegang rambutnya yang jatuh ke depan, sedikit kikuk, membuat Jey seperti kehilangan kemampuan bicara.


“Enggak apa-apa… kamu nggak apa-apa?” jawab Jey gugup.


Gadis itu tertawa kecil. “Aku sih nggak apa-apa. Tapi kamu pasti basah semua. Aduh, harusnya aku yang minta maaf berkali-kali.”


Percakapan sederhana itu berubah menjadi perkenalan.

“Jeremy Thomas, panggil Jey aja.”

“Danania Annaya. Naya.”


Dan sejak hari itu, nama itu menetap di kepala Jey tanpa izin.


Malamnya, di apartemen yang sunyi, Jey menggulir media sosialnya lalu tanpa sadar mengetik “Danania Annaya”. Ketika ia menemukan akun Instagram gadis itu, ia membuka perlahan-lahan seperti membuka rahasia. Foto Naya tersenyum di bawah cahaya matahari. Naya dengan gaun putih. Naya dengan kucing kecil di pangkuan. Semua terlihat lembut, terlalu lembut untuk seseorang seperti Jey.


Ia hampir menekan tombol “Follow”, tapi ia menahan diri. “Udahlah. Dunia kita beda,” gumamnya sambil mematikan ponsel.


Keesokan paginya, ia menceritakan semuanya pada Nichole. “Cole, gue kayaknya suka… sama murid baru itu.”


Nichole langsung menatapnya dengan wajah ingin tertawa. “Baru ketemu sekali, Jey. Gampang bener jatuh cinta.”


“Gue nggak jatuh cinta!”

“Oh ya?” Nichole menaikkan alis.

“Ya… mungkin dikit.”


Hari demi hari berlalu tanpa banyak perubahan, sampai sebuah momen kecil mengubah segalanya. Saat pertandingan basket antar sekolah, Jey melihat Naya duduk sendirian di tribun belakang. Nichole menyikutnya tanpa ampun. “Itu kesempatan, bodoh. Pergi sana,” suruh Nichole.


Dengan jantung berdebar, Jey akhirnya memberanikan diri menghampiri. Naya menoleh dan tersenyum, senyum sederhana yang membuat seluruh tubuh Jey seperti kehilangan gravitasi. Jey mencoba bersikap santai, padahal pikirannya berantakan. 


“Hai,” sapa Jey hati-hati. “Sendirian?”


“Iya.” Naya tersenyum kecil. “Aku cuma mau nonton dari jauh. Di depan terlalu ramai.”


Jey ikut menatap lapangan. Sorakan penonton pecah lagi saat tim mereka memasukkan bola. “Seru juga ya,” katanya mencoba membuka pembicaraan.


“Iya, lumayan bikin tegang,” jawab Naya sambil tertawa kecil. “Tapi aku cuma ikut teriak kalau semua orang teriak.”


“Berarti kamu nggak ngerti rulesnya?” Jey menggoda.


“Sedikit,” Naya menunjuk ke lapangan. “Yang penting bola masuk ring, kan?”


Jey tertawa. “Setidaknya kamu jujur.”


Obrolan kecil itu mengalir begitu mudah. Seolah mereka berdua memang ditakdirkan duduk berdampingan hari itu.


Setelah jeda singkat, Naya tiba-tiba bertanya, “Kamu udah kepikiran mau ambil jurusan apa nanti?”


Jey sedikit kaget karena topiknya melompat jauh, tapi ia senang Naya memulai. “Mungkin Manajemen Bisnis,” jawabnya sambil mengusap tengkuk. “Kayaknya menarik… walau aku nggak tahu bakal jago apa nggak.”


Naya langsung menoleh cepat. “Serius? Sama! Aku juga mau ambil Manajemen Bisnis.”


“Wah, kok bisa sama?” Jey tertawa.


“Ayahku kan pebisnis,” kata Naya sambil menatap lapangan, suaranya lebih lirih. “Usahanya besar… dan dari kecil aku lihat perjuangannya. Aku pengen bisa bantu suatu hari nanti.”


“Oh…” Jey mengangguk, tapi rasa asing tiba-tiba mengisi dadanya. Pebisnis besar. Sangat berbeda dari hidupnya yang dipenuhi tagihan.


Dia tetap tersenyum untuk menutupi rasa rendah diri itu. “Kamu pasti bisa, Nay.”


Naya menatapnya sekilas lalu berkata, “Kalau kamu sendiri? Kenapa milih bisnis?”


“Karena aku pengen bangun sesuatu dari nol,” kata Jey jujur. “Punya sesuatu yang bisa aku banggakan sendiri.”


“Itu bagus,” ucap Naya pelan.


Langit mulai menggelap di luar gedung olahraga. Dari kaca tinggi tampak rintik-rintik pertama hujan. Gemuruh lembut terdengar dari kejauhan.


“Kayaknya mau hujan deres,” gumam Jey. Ia melirik Naya. “Nay… nanti kamu nggak kehujanan pulang?”


Naya menggeleng sambil tersenyum. “Enggak kok. Aku naik mobil.”


“Hah? Kamu udah bisa nyetir?” Jey refleks bertanya.


Naya langsung tertawa lepas. “Hahaha enggak lah! Supir pribadi aku nungguin di parkiran.”


“Oh…” Jey terdiam sepersekian detik, senyumnya melemah tanpa ia sadari. Di dalam hati ia menggumam, jauh banget ya dunia kita.


Untuk menutupi rasa canggung itu, Jey cepat-cepat berkata, “Ehm… boleh minta Instagram kamu nggak?”


Naya menaikkan alis. “Kenapa formal amat?”


“Karena aku gugup!” balas Jey.


Naya tertawa lebih hangat. “Ya sudah, sini. Search aja @nnayaxx.”


Jey menambahkan akun itu pelan-pelan, seolah takut merusak momen yang samar tapi berarti itu. Padahal dia sudah tahu nama Instagramnya tapi dia ingin agar Naya sendiri yang memberikannya.


Sejak hari itu, dunia Jey berubah. Chat mereka semakin panjang, semakin larut, semakin intens. Kadang mereka tertawa hingga lupa waktu. 


Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang tidak Jey tahu.


Setiap Jumat sore, Naya menghilang.

Ia pergi ke masjid bersama keluarganya beribadah, menenangkan hati. Di tengah doa-doanya, ia sering memikirkan Jey. Bukan karena ingin, tapi karena perasaannya mulai tumbuh terlalu jauh. Dan keyakinannya membuatnya takut.


Sampai suatu malam, Naya mengirim pesan pendek “Aku di pantai dekat apartemen kamu. Butuh angin malam.”


Jey langsung berangkat begitu membaca pesan itu. Pantai terlihat lengang ketika ia tiba, hanya diterangi lampu-lampu redup dan desiran ombak yang seolah memanggil. Naya duduk di bibir pasir dengan jaket tipis, memeluk lututnya, menatap laut yang gelap. Jey menghampiri perlahan.


“Kamu kenapa ke pantai sendirian jam segini?” tanya Jey pelan.


Naya menoleh, tersenyum tipis. “Aku… pengen denger suara ombak. Kadang aku butuh tempat buat mikir tanpa ributnya rumah.”


“Rumah kamu seribut itu?” Jey duduk di sebelahnya, menjaga jarak sedikit.


Naya menghembuskan napas. “Bukan ribut… cuma terlalu penuh. Keluargaku sibuk semua. Ayah sering kerja sampai larut. Ibu keras, tapi bukan jahat… cuma gampang panik. Kakakku bawaannya mau ngatur aku terus.” Ia menatap laut lagi. “Kadang aku hanya pengen ngerasain sunyi.”


Jey mengangguk pelan. “Tapi kenapa harus jam sembilan malam? Bahaya tau.”


Naya menatapnya dan tertawa kecil. “Makanya aku heran. Kenapa kamu niat banget nyamperin aku jam sembilan ke pantai?”


Jey menggaruk tengkuknya, malu. “Karena kamu bilang butuh angin malam… ya aku datang.”


“Hah? Serius cuma karena itu?” Naya menaikkan alis.


“Serius.” Jey menatap pasir. “Aku… nggak tahu. Rasanya kayak kalau kamu butuh seseorang, aku pengen ada.”


Ucapan itu membuat Naya menunduk, menyembunyikan sesuatu di matanya. “Kamu aneh,” katanya pelan, tapi suaranya hangat.


Mereka duduk berdampingan cukup lama, membiarkan obrolan kecil mengalir tentang masa kecil, tentang harapan kuliah, bahkan tentang kesepian yang ternyata mereka rasakan dengan cara masing-masing. Ombak menjadi saksi diam percakapan yang seharusnya tak sedekat itu untuk dua orang yang baru saling mengenal.


Setengah jam berlalu. Tiba-tiba angin menjadi lebih dingin.


“Kayaknya mau hujan,” gumam Jey.


“Biarin,” jawab Naya lirih. “Kadang hujan bikin semuanya terasa… jujur.”


Benar saja, rintik pertama jatuh mengenai pasir, lalu mengenai jaket mereka. Dalam hitungan detik, hujan turun deras. Naya menatap Jey, lalu tertawa. “Kita basah bareng, nih!”


“Tanggung amat,” Jey ikut tertawa. “Sini, aku punya motor. Kita cari tempat teduh.”


Setelah beberapa menit, hujan semakin menggila. Jey menepi di bawah atap warung kecil yang sudah tutup.


“Dingin?” tanya Jey sambil merapikan jaketnya.


Naya menggosok tangannya. “Sedikit. Tapi seru juga. Jarang-jarang aku hujan-hujanan naik motor.”


“Kirain kamu tiap hari naik mobil,” goda Jey.


Naya tertawa. “Iya sih… tapi ternyata gini juga asik.”


Suasana mulai hangat kembali sampai tiba-tiba ponsel Naya berdering keras, memecah momen itu. Wajahnya langsung berubah ketika melihat nama “Ibu” di layar.


“Halo, Bu…” Naya berbicara dengan suara hati-hati. “Iya, aku masih di luar… Iya, aku pulang sekarang.” Ia menutup telepon dan segera berdiri.


“Kamu harus pulang?” tanya Jey.


Naya mengangguk, wajahnya terlihat menahan sesuatu. “Iya… ibu panik kalau aku kelamaan, lagi pula ini juga udah jam 12 malam. Kakakku dari tadi nunggu di mobil.”


“Aku antar, ya? Sekalian.”


Naya buru-buru menggeleng. “Nggak usah, Jey. Beneran. Kakakku marah kalau aku pulang sama orang lain. Dia… protektif banget.”


Jey terdiam sesaat. “Tapi hujan masih deras.”


“Aku gapapa.” Naya tersenyum tipis. “Kamu pulang juga ya, jangan sakit.”


Jey hanya berdiri di bawah atap warung, membiarkan hujan membasahi kakinya. Entah mengapa, ia merasa seperti baru kehilangan sesuatu yang seharusnya belum ia genggam.


Perjalanan pulang terasa lebih sepi dari jalanan malam itu. Tapi sesampainya di rumah, ketika Jey menggantung helmnya dan hendak mengganti baju, ponselnya berbunyi.


“Kamu udah sampai rumah? Hujannya makin deras. Kamu nggak papa kan?” tanya Naya.


Jey menatap layar itu lama. Ada rasa hangat yang berbeda.


“Udah. Basah kuyup sih, tapi aman.” jawab Jey dengan tersenyum.


Tak lama kemudian, balasan muncul.


“Syukurlah. Makasih ya, Jey… buat semuanya.” balas Naya.


Dan untuk pertama kalinya malam itu, Jey merasa semua basah kuyup dan rasa dingin tadi benar-benar layak.


Setelah malam itu, Naya semakin menjauh. Chat diperlama. Senyum dipendekkan. Tatapan di sekolah cepat dialihkan. Jey mengira semuanya salahnya. Naya mengira ia harus menghapus perasaannya.


Hingga satu malam, telepon berdering.

“Jey… kata temenku, kamu suka sama aku ya?”


Hening.

Kemudian Jey menjawab jujur.

“Iya Nay, dari hari pertama kita bertemu...”


Telepon terputus.

Dua minggu tanpa kabar.


Sampai akhirnya sebuah pesan datang:

“aku pikir, Kita harus bertemu. Di taman dekat sekolah.”


Taman itu berada di dekat sekolah, tempat bangku kayu memudar karena matahari, dan rumputnya tumbuh tidak rapi. Jey menunggu dengan gelisah, jantungnya berdetak lebih cepat setiap detik yang berlalu.


Sebuah mobil hitam berhenti.

Naya turun.


Ketika ia duduk di depan Jey, hening menggantung panjang. Lalu suaranya pecah.


“Jey… aku suka sama kamu.”


“Tapi itu dulu.”


Jey merasa dunia runtuh. “Dulu?”


“Aku matiin perasaanku. Karena kalau aku nggak matiin, aku jatuh lagi. Dan kita beda keyakinan, Jey… aku takut. Masa depan kita nggak mungkin.”


Jey menggeleng cepat. “Kita masih SMA. Kita bisa jalani pelan-pelan.”


“Tapi buat apa jalan kalau kita tahu ujungnya buntu?”


Air mata Naya jatuh. Ia menyeka, tapi jatuh lagi.


“Aku udah urus surat pindah.”


Jey tertegun. “Kamu bilang apa?”


“Aku nggak kuat, Jey. Aku nggak mau lihat kamu sama perempuan lain. Dan aku nggak mau perasaanku kembali tumbuh.”


Ia berdiri, suaranya serak.

“Andai kamu jujur dari awal… semuanya nggak akan serumit ini.”


Naya menatapnya untuk terakhir kalinya.


“Semoga kamu bisa hidup tanpa aku.”


Lalu ia pergi.


Pintu mobil tertutup.

Langkahnya menghilang.

Dan di bangku taman yang dingin, Jey akhirnya menangis untuk cinta yang tidak pernah benar-benar sempat hidup.


Namun di sela tangisnya, ia menemukan sesuatu yang lebih besar.

keikhlasan.


Beberapa cinta memang ditakdirkan untuk dilepas, bukan untuk digenggam.


Saat senja menyapu langit dengan warna jingga yang pudar, Jey berbisik lirih.


“Terima kasih… sudah pernah ada.”