Tautan berhasil disalin ke clipboard!

Surga & Neraka

👤 I Gusti Ayu Kalinda Bella 🏫 XI-11 🆔 25660

“Ibu, apakah ibu takut sama surga dan neraka?”Dulu, Guru agama bilang semua perbuatan akan diperiksa seperti rapor. Di kepalaku Tuhan pakai kacamata tebal, membuka lembar demi lembar. Ibu mengaduk gula sampai bunyi sendok berulang seperti metronom. “Tidak. Untuk apa Ibu takut?” jawabnya datar. ia menjawab dengan sangat enteng. seperti jika ditanyakan apakah ia mau kopi atau teh.


Di kepala anak sepuluh tahun, jawaban itu berarti banyak kemungkinan. Mungkin Ibu sudah kenal orang dalam di langit. Mungkin ia tidak percaya. Mungkin ia berani seperti film. Aku pilih hipotesis yang paling sinis: ia sudah punya perjanjian.


seperti anak kecil yang lainnya, mungkin bisa dibilang diriku terdoktrin dengan propaganda bahwasannya dosa dan kebaikan bisa diukur dari atas permukaan. bahwa tuhan sudah mencatat semua dosa dan kebaikan kami di dalam suatu kertas yang nanti akan dibacakan olehnya saat sudah waktunya.


Ketika aku dua belas tahun, sesuatu terjadi. Aku menemukan pesan di ponsel Ayah. Tidak ada adegan dramatis di ruang tamu. Tidak ada piring yang terbang. Aku membawa ponsel itu ke meja makan dengan tangan gemetar. Ibu melihat layarnya, lalu meletakkan sendok. Ia menatapku, lalu menunduk. Tidak ada teriak. Ia mematikan api dan menambah garam. “Kalau kita ribut, siapa yang akan jaga kamu?” katanya. Suaranya datar, tegas seperti instruksi. Aku marah. Kenapa ibu tak ber-reaksi? diri kecilku menyimpulkan bahwa ibu mungkin juga brengsek, kupikir ia mungkin tak cukup mencintai ayah untuk peduli pada jaketnya yang setiap ia pulang beraroma parfum wanita.


Aku menunggu pembelaan, tangisan, atau kepergian. Tidak ada. Hanya kerja. Hanya rutinitas yang tak menurun. Aku marah beberapa jam, lalu mulai mengumpulkan detail lain: piring yang selalu bersih, mertua tetangga yang pernah dibantu, roti tambahan di saku ketika kami pergi ke pasar. Detail itu awalnya aneh, kemudian menumpuk.


Di usia lima belas, aku mendengar fragmen sejarah Ibu. Bukan cerita lengkap; hanya potongan yang jatuh seperti koin ke lantai. Ia pernah tinggal di kota dingin, katanya. Ia datang ke sini dengan tas separuh kosong. Ia pernah ditinggalkan oleh pria yang dulu ia percaya. Ia menulis surat tanpa alamat. Ia kehilangan kehamilan berkali-kali. Dokter bicara medis; tetangga bicara doa. Ibu bilang itu latihan. Ia menyebut sakit dengan kata kerja, bukan pernyataan yang memerlukan bela negara.


Potongan-potongan itu membuka ruang lain. Aku mulai lihat tak hanya noda, tapi jahitan. Ada foto gadis muda dalam kotak baju. Rambutnya acak. Senyumnya penuh tekad.  Sungguh lama ia menatap foto itu, lalu tertawa pendek: “Dulu Ibu pikir berani itu penting. Sekarang Ibu pikir bertahan itu lebih berguna.” Aku pengin mengejek. Aku pengin tahu lebih. Tapi ia tidak memberikan panggung. Ia hanya menaruh foto kembali.


Masa remajaku penuh penghitungan. Di sekolah aku diajar hitam-putih. Di rumah aku menyaksikan warna abu-abu yang tak habis. Aku memetakan semuanya: layar ponsel Ayah, kertas klinik, nota obat, catatan tanggal yang disisipkan di buku. Angka ‘tujuh’ muncul tanpa henti. Tujuh kali kehilangan; tujuh titik di peta yang tidak lengkap. Aku menimbang dosa-dosa itu di kepala kecilku. Mereka berat.


Tapi ada juga adegan kecil yang selalu mengikut. Satu malam ketika listrik padam, Ibu menyalakan lilin. Di bayang-bayang, wajahnya berubah. Ia menatap tembok seperti orang yang menunggu tamu. Aku bertanya apakah ia takut. Ia jawab, “Takut itu boros tenaga. Kita hemat.” Jawaban seperti itu membuatku bingung. Ia bercanda, tapi serius. Ia melindungi tenaga agar bisa dipakai membangun hari berikutnya.


Suatu hari aku menemukan kotak kunci tua. Kuncinya berisik jatuh di antara sendok. Waktu kecil aku kira itu membuka lemari rahasia. Belakangan aku tahu kunci itu sisa kontrak lama. Ia menatap kunci itu seperti melihat bekas luka. Ia menaruhnya kembali. Aku simpan gambar itu. Sesuatu tentang kunci dan kebiasaan lain terasa seperti kode.


Kami punya pasar batin. Di kepala kecilku pasar itu berisi pedagang memori. Mereka menukar penyesalan dengan kebahagiaan sementara. Aku sering membayangkan Ibu berdiri di stan tanpa drama, membayar sebungkus penyesalan, pulang membawa kantong yang berat, lalu memasak sup. “Kebahagiaan palsu cepat basi,” katanya suatu pagi. “Penyesalan menempel. Berguna seperti rempah.” Aku menelan itu seperti obat pahit.


Saat aku tujuh belas, aku diberi akses lain: foto-foto lama yang dulunya tersegel. Ada amplop tanpa alamat, ada catatan medis, ada tiket bus. Fragmen itu bercerita lebih keras daripada kata-kata. Aku melihat Ibu muda yang pernah berani, yang pernah berharap. Aku melihat jaket tua dengan noda yang tak jelas. Ada garis pada foto seperti bekas jahitan. Goresan itu seperti nama yang tidak diucap. Semua fragmen itu menimbulkan rasa yang aneh: bukan belas, bukan penilaian-

melainkan ketidakcukupan.


Dalam satu adegan di dapur, aku memecahkan gelas. Gelas itu berhamburan. Aku siap menunggu suara yang memarahi. Ibu malah tertawa, lalu menatapku tanpa amarah. Ia memungut pecahan, meletakkan potongan di piring yang lain. “Bagus,” katanya singkat. “Sekarang kita sapu.” Tawa yang keluar dari mulutnya bukan tawa candaan. Itu tawa orang yang tahu hidup tidak akan selesai oleh satu pecahan. Ia memandang masalah seperti alat kerja: dipungut, disortir, disingkirkan.


Kebiasaan-kebiasaan kecil mulai membentuk logika besar. Roti setengah hangus yang diselipkan di saku, kunci tua yang dijaga, catatan tanggal yang ditulis rapi. semua itu bukan kebetulan. Mereka adalah strategi. Mereka adalah pembayaran harian. Ia memberi tanpa catatan. Ia menolong orang yang bahkan tidak layak mendapatkan tolongan. Ia menahan malu, lalu menaruhnya di lemari seperti pakaian yang masih dipakai.


Aku tumbuh. Aku belajar menata puzzle itu. Dari umur sepuluh ke dua belas ke lima belas ke tujuh belas, adegan-adegan itu bersatu pelan. Dunia mulai tidak sesederhana lembar tugas sekolah. Ada kalkulasi lain: pengorbanan. Aku mulai melihatnya bukan sebagai pembenaran, melainkan sebagai fakta kerja. Ia pernah membuat keputusan yang salah. Ia pernah menaruh dirinya di situasi yang membuat orang menilai. Namun dia juga menimbun hari demi hari kebaikan yang tidak terukur.


Ada malam ketika aku duduk di pangkuannya, kami mendengar hujan lembut. Ia menatap ke jendela, lalu menatapku. Wajahnya kusut oleh waktu. Ia berkata, “Kalau Ibu jatuh, siapa yang akan menangkapmu?” Aku jawab tanpa berpikir, “Kamu, Bu.” Ia tertawa kecil, tapi matanya menegang. Ia tidak menjelaskan. Ia tidak perlu. Aku mengerti setelah melihat lembar-lembar yang kusatukan.


Beberapa hal yang dulu kusangka sepele sekarang mengandung arti. Seperti hari ketika aku pulang membawa rapor jelek. Aku ingat Ibu tidak memarahi. Ia membuka lembar nilai, lalu menggaris angka dengan pulpen. “Kamu bisa memperbaiki,” katanya. Itu bukan kata motivasi. Itu perintah ekonomi: kerja, repair, ulang. Ia memasang jadwal belajar tanpa drama. Ia mengganti seminar moral dengan jadwal kerja harian. Di kepala anak itu terasa seperti penolakan empati. Sekarang aku tahu itu struktur.


Waktu lain, tetangga datang menangis karena rumahnya kebanjiran. Mereka membawa ember, baju, dan cerita. Ibu tanpa pikir panjang meminjam panci besar, menolong mereka memasak untuk pengungsian kecil. Aku protes karena itu berarti stok berkurang. Ibu cuma mengangkat bahu, “Nanti beli lagi.” Aku marah karena logika makananku tampak runtuh. Kini aku mengerti: transaksi sosial itu semacam rekening yang ia isi tanpa catatan. Ia menabung moral, tanpa berharap saldo dilihat siapa pun.


Di sekolah aku belajar retorika megah tentang pengampunan. Di rumah, pengampunan Ibu tidak diumumkan. Ia memaafkan diam-diam. Ketika Ayah ingin pulang lagi setelah berbulan-bulan, ia mempersiapkan kamar seperti orang yang menunggu tamu biasa. Ia mengulurkan bantal ekstra. Ia menata selimut. Ia menyediakan nasi hangat. Ia tidak berpidato soal harga diri. Aku pikir itu lemah. Sekarang kusadari itu strategi lunas: memastikan anak tidak kehilangan nutrisi emosional karena drama orang dewasa.


Fragmen masa muda Ibu semakin sering muncul. Ada teman lama yang datang ke rumah dan menatap Ibu dengan mata aneh. Mereka bertukar nama dan satu baris: “Ingat ketika kita di sana?” Ibu tersenyum, lalu memasang air panas. Kadang ia menyanyikan potongan lagu yang tidak aku kenal. Suara itu memercikkan bayang kota asing. Di rapat keluarga, om-om mengeluarkan cerita lama tentang bagaimana Ibu pernah bertahan bekerja hingga telapak kakinya kapalan. Mereka menyebut kata pengorbanan dengan kosong, tapi saat aku…


Aku menulis beberapa catatan di buku harianku. Aku menuliskan baris-baris pendek: kunci, roti saku, tujuh kakak kakakku yang seharusnya hadir di dunia ini namun terbantah nasib, panci tetangga, gelas yang pecah. Setiap baris seperti petunjuk harta karun. Ketika malam tiba dan aku menempatkan buku itu di bawah bantal, aku merasa ada beban baru: bukan benci, bukan dendam, melainkan kewajiban. Ada kata yang muncul kemudian: menjaga.


Seiring waktu, tanggung jawab itu tumbuh jadi sesuatu yang kokoh. Aku belajar cara memasak sup ayam sampai empuk. Aku belajar memegang gas, menyiapkan teh, mengepel lantai agar tidak licin. Itu pelajaran praktis, bukan pelajaran moral yang diajarkan di sekolah. Sekali waktu aku mengeluh karena pulang terlambat. Ibu menatap dan hanya berkata, “Kerja itu susah. Cobalah menikmatinya.” Aku tertawa pahit. Menikmati? Itu kata yang aneh untuk diikat pada kerja.


Ada hari ketika aku melihat Ibu menangis. Ia menangis kecil saat menyingkirkan baju bekas yang bau. Tangis itu tertahan dan singkat. Ia menghapus air mata dengan punggung tangan lalu melanjutkan pekerjaan. Aku berlari memeluknya, berkata sesuatu yang canggung seperti, “Kenapa sedih?” Ia menatapku, lalu menjawab, “Terlalu banyak benda, nak. Hidup terlalu penuh.” Jawaban itu bukan pengaduan, hanya fakta administrasi. Ia mengelola rasa seperti inventaris barang.


Ketika aku mendekati usia dua puluh, aku semakin paham bahwa pengorbanan tidak pernah tampil glamor. Ia tidak butuh tepuk tangan atau surat pujian. Ia butuh ketenangan agar bisa bekerja lagi esok hari. Inilah yang membuatnya tampak santai saat aku sepuluh bertanya tentang neraka: ia bukan santai karena tidak peduli, ia santai karena pengertian yang dipraktikkan. Ia tahu nilai-nilai telah terlalu sering dibayar. Ia punya neraca yang bukan neraca surga. Neracanya diisi popok, panci, malam tanpa tidur.


Suatu malam, tepatnya pada bulan Desember, aku berinisiatif untuk menghabiskan waktu Natalku dengannya. aku sudah merindukan senyumnya yang lembut. Walau sedikit menyakitkan tuk melihat rambutnya yang perlahan lahan memutih, dan wajahnya yang telah mengkerut. 


malam itu kami berdua duduk di meja makan, menikmati spaghetti bolognese buatannya yang resepnya merupakan warisan keluarga kami. ia menaruh garpunya pada piring. suara keramik dan besi yang bertabrak mengisi kesunyian ruangan itu. “Nak, dulu Dirimu pernah bertanya suatu pertanyaan konyol padaku.”

Ibu tak tahu bahwa aku sebenarnya memikirkan jawabannya setiap hari.

“Ibu tak sempat menjelaskan jawaban ibu kala itu. Tapi ibu rasa, dirimu sudah cukup sekarang dewasa untuk tahu apa yang Ibu maksud pada saat itu.”


Malam itu di meja makan ketika aku mendengar jawabannya. aku tidak memaksa ia menjelaskan lebih jauh. Kalimat itu sudah cukup. Ia tidak perlu pidato panjang. Ia hanya perlu menaruh kata yang menutup semua. Aku menatapnya, dan untuk pertama kali aku merasa beratnya kata “pengorbanan” itu masuk ke tubuhku, bukan hanya ke kepala.


Di luar, langit biasa-biasa saja. Di dalam, panci-panci menunggu dicuci. Kami menyelesaikan tugas kecil itu bersama. Saat aku mengambil spons, aku berpikir sesuatu yang sederhana: aku mesti menjaga tangga itu. Itu bukan metafora heroik. Itu kerja. Aku akan menagihnya perlahan, hari demi hari. Karena dia sudah membayar lunas, kini giliran aku menunaikan amanat.


Karena itu Ibu tak takut dengan neraka. Ia tau bahwa segala pengorbanannya sudah lebih dari segalanya yang bisa diberikan oleh seorang. hingga dosa dosanya pun tak terlihat.