SANG PENJAGA SENJA
Senja menyelimuti langit dengan warna keemasan yang lembut, perlahan berubah menjadi jingga pekat di ufuk barat. Di bawah cahaya itu, Desa Wanaraya tampak tenang seperti biasa. Angin membawa aroma tanah dan dedaunan basah, suara jangkrik mulai bermunculan, dan beberapa warga masih sibuk menutup kios mereka. Namun di tengah ketenangan itulah seseorang berdiri sendirian, memandang cakrawala seolah sedang menjaga rahasia yang belum pernah diceritakannya kepada siapa pun.
Dialah Arkas.
Pemuda itu berdiri tegak sambil memegang pedangnya—pedang sederhana tanpa hiasan, warisan dari ayahnya, seorang penjaga desa yang dulu dihormati. Arkas memegang pedang itu setiap sore ketika ia bertugas menjaga perbatasan desa. Tubuhnya terlihat tenang, namun matanya tidak pernah benar-benar istirahat. Seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang selalu siaga, selalu takut akan sesuatu, selalu menunggu sesuatu yang tidak ia tahu kapan datangnya.
Arkas hidup dengan bayang-bayang ayahnya. Semua orang di desa memuji keberanian ayahnya. Setiap cerita tentang masa lalu selalu menyinggung bagaimana ayahnya melindungi desa dari serangan binatang buas atau perampok yang mencoba mencuri hasil panen. Namun cerita-cerita itu bagi Arkas justru menjadi beban, bukan kebanggaan. Ia merasa dirinya belum cukup kuat untuk menggantikan sosok itu. Dan meski ia berusaha keras, rasa takut gagal itu terus mengikuti setiap langkahnya.
“Arkas?” suara lembut itu memecah lamunannya.
Arkas menoleh dan melihat Laras berjalan mendekat. Gadis berambut hitam itu membawa keranjang berisi umbi-umbian dari ladang. Wajahnya sedikit berkeringat karena seharian bekerja, tetapi senyumnya tetap cerah seperti biasanya.
“Kau sudah berjaga sejak siang,” kata Laras sambil menaruh keranjangnya di tanah. “Apa kau tidak lelah?”
“Aku baik-baik saja,” jawab Arkas singkat.
Laras memutar bola matanya. “Kalau kau terus memaksa diri seperti ini, suatu hari kau akan tumbang sebelum sempat jadi pahlawan.”
Arkas terdiam sebentar. “Aku tidak butuh jadi pahlawan.”
“Benarkah?” Laras menatapnya sambil menyilangkan tangan di dada. “Atau kau hanya takut dibilang tidak seperti ayahmu?”
Arkas menahan napas. Laras selalu bisa membaca isi hatinya. Terlalu baik. Terkadang terlalu tepat.
“Aku… hanya ingin desa aman,” kata Arkas.
“Kau juga berhak aman, Arkas,” balas Laras lembut. “Termasuk berhak istirahat.”
Sebelum Arkas sempat menjawab, suara gong menggema dari tengah desa.
GONG! GONG! GONG!
Dua kali adalah panggilan rapat.
Tiga kali adalah tanda bahaya besar.
Arkas langsung memasukkan pedangnya ke sarungnya. “Laras, pulang sekarang.”
“Ada apa? Perampok? Binatang buas?” tanya Laras panik.
“Aku tidak tahu,” jawab Arkas cepat. “Tapi jangan dekat-dekat alun-alun.”
Namun Laras tidak bergerak. “Aku ikut! Kita tidak tahu apa yang terjadi—”
“Laras!” suara Arkas meninggi. “Pulang! SEKARANG!”
Laras menggigit bibirnya, lalu berlari pulang. Arkas tahu gadis itu keras kepala, tapi ia berharap kali ini Laras akan menuruti ucapannya.
Arkas berlari menuju alun-alun.
Dan di sanalah ia melihat api.
⸻
Tiga rumah terbakar di ujung timur desa. Orang-orang berteriak panik sambil berlarian membawa ember air. Beberapa pria mencoba memadamkan api dengan kain basah, tetapi kobaran semakin besar.
Yang membuat situasi lebih mengerikan adalah sekelompok pria bertopeng hitam berdiri di depan rumah-rumah itu. Mereka membawa pedang, tombak, dan obor. Setidaknya ada dua puluh orang.
“PERAMPOK!” teriak salah satu warga.
Arkas langsung mencabut pedangnya.
Ini dia.
Ketakutan terbesar Arkas—ketakutan akan hari di mana desa membutuhkan pahlawan… dan ia tidak siap.
Tapi ia tidak punya waktu berpikir.
Seorang perampok berlari menuju seorang ibu yang memeluk anaknya. Arkas berlari secepat mungkin, melompat, dan menepis pedang perampok itu. Benturan logam terdengar keras. Arkas memutarkan tubuhnya dan menebas pergelangan tangan perampok itu hingga pedangnya terjatuh.
Arkas tidak pernah membunuh siapa pun sebelumnya. Namun malam itu, ia tidak punya pilihan.
Perampok itu menyerang lagi dengan tangan kosong, dan Arkas menancapkan pedang ke dadanya.
Darah memercik. Tubuh perampok itu jatuh.
Jantung Arkas berguncang hebat, bukan karena bangga, tetapi karena takut… takut bahwa ia bisa mati, atau lebih buruk lagi, gagal.
Namun ia tidak berhenti.
Tiga perampok mengeroyoknya. Arkas menangkis serangan pertama, menendang perut lawan kedua, lalu menghindari tusukan tombak lawan ketiga. Gerakannya kacau, tidak seanggun latihan, tetapi didorong oleh adrenalin dan rasa putus asa.
“ARKAS!”
Sebuah batu besar menghantam kepala salah satu perampok yang nyaris menusuk punggung Arkas. Arkas menoleh dan melihat Laras berdiri dengan wajah kebingungan dan marah.
“Apa yang kau lakukan di sini?!” Arkas berteriak.
“MENOLONGMU, BODOH!” teriak Laras.
Dua perampok berlari ke arah Laras. Arkas langsung bergerak, menebas salah satunya dan menendang yang lain.
“Laras, lari!”
“Tidak! Aku tidak akan tinggalkanmu sendirian!”
Arkas ingin memaki, ingin marah, ingin menyuruh gadis itu pergi… tapi ia tahu Laras tidak akan pernah meninggalkannya. Bukan malam itu. Bukan ketika nyawa banyak orang dipertaruhkan.
Pertarungan semakin kacau. Api menyebar ke rumah-rumah lain. Orang-orang menjerit. Anjing-anjing menggonggong panik. Desa Wanaraya yang tenang berubah menjadi neraka.
Arkas merasakan tubuhnya melemah. Ia terus bergerak, menangkis, menebas, menghindar, memukul, tetapi jumlah musuh tidak habis. Setiap kali ia menjatuhkan satu, dua lagi muncul.
Di momen ketika ia hampir kehilangan keseimbangan, suara terompet terdengar.
TUUUUUTTTTTT—!!
Pasukan kerajaan masuk ke desa.
Pertempuran berubah arah. Para perampok panik dan mulai kabur, tetapi sebagian berhasil ditangkap. Api mulai padam dengan bantuan para prajurit. Warga mulai aman.
Arkas merasakan kepalanya pusing. Ia melihat Laras berlari ke arahnya—tetapi suaranya terdengar jauh.
“Arkas! Arkas! Tetap bangun!”
Arkas tersenyum samar.
“Kita… berhasil…”
Dan dunia menggelap.
⸻
Ketika Arkas membuka mata, pagi sudah tiba. Ia sedang terbaring di kamarnya. Tubuhnya dibalut perban di beberapa bagian. Ibunya berada di dekatnya, matanya sembab karena menangis terlalu lama.
Laras duduk di kursi, terlihat lelah tetapi tersenyum lega.
“Kau bangun,” kata Laras, suaranya lirih tapi bahagia.
“Berapa lama… aku tidak sadarkan diri?”
“Dua hari,” jawab ibunya.
Arkas menelan ludah. “Semua orang… aman?”
“Kau melindungi banyak nyawa, Nak,” kata ibunya sembari memegang tangannya.
Arkas memandang Laras. “Kau… tidak apa-apa?”
“Aku masih hidup berkatmu,” jawab Laras pelan.
Beberapa jam kemudian, seorang perwira kerajaan datang. Kapten pasukan itu tinggi, berwajah tegas, dan sikapnya penuh wibawa. Ia melihat Arkas dengan hormat.
“Aku melihat pertempuran itu,” katanya. “Dan aku jarang melihat seorang penjaga desa bertarung dengan keberanian seperti itu.”
Arkas menunduk, merasa tidak pantas mendapat pujian sebesar itu.
“Kau memiliki keberanian,” lanjut sang kapten. “Dan juga naluri bertarung. Aku ingin menawari kau posisi di pasukan kerajaan. Kami membutuhkan orang sepertimu. Kau akan mendapat pelatihan resmi, rumah, gaji, masa depan.”
Arkas terkejut. Hatinya berdegup.
Menjadi penjaga kerajaan berarti masa depan cerah. Berarti kesempatan menjadi seseorang yang benar-benar besar.
Ia melirik ibunya. Wajah ibunya penuh harapan… sekaligus kekhawatiran. Ia melirik Laras. Gadis itu tidak mengatakan apa pun, tetapi sorot matanya berkata:
Keputusan apa pun, aku akan menerimanya. Tapi… jangan tinggalkan kami.
Arkas memejamkan mata.
Ia membayangkan malam serangan itu: the jeritan anak-anak, rumah terbakar, api menyebar, warga ketakutan. Ia membayangkan bagaimana semuanya bisa lebih buruk jika ia tidak ada di sana.
Jika ia pergi, siapa yang akan melindungi desa?
Akhirnya, Arkas menggeleng pelan.
“Terima kasih, Kapten,” katanya. “Tapi tugasku ada di sini. Di desa ini.”
Kapten itu menatap Arkas lama, kemudian tersenyum tipis, penuh penghargaan. “Keputusan paling sulit… biasanya yang paling benar.”
⸻
Hari-hari berikutnya, Arkas tidak lagi sekadar penjaga desa. Ia menjadi pelatih bagi para pemuda. Setiap sore, ia melatih mereka menggunakan pedang kayu, mengajari teknik dasar bertarung, melatih fisik, mengajarkan bagaimana menjaga desa dari serangan.
Dalam dua bulan, terbentuklah regu penjaga desa pertama dalam sejarah Wanaraya. Mereka tidak sempurna, tetapi semangat mereka besar.
Laras sering ikut membantu, entah dengan memberi air minum, memperban luka latihan, atau sekadar memarah-marahi Arkas karena terlalu keras terhadap murid-muridnya.
“Jika kau melatih mereka seperti melatih dirimu, mereka akan mati dalam seminggu,” kata Laras suatu hari.
Arkas tertawa kecil. “Mereka harus kuat.”
“Ya, tapi mereka manusia, bukan batu.”
Arkas memandang Laras, dan tanpa sadar ia tersenyum lembut. “Sepertinya ada seseorang yang membuatku lupa tentang itu.”
Laras mengerutkan alis. “Siapa?”
Arkas menatapnya lama. “Kau.”
Laras memerah. “Jangan bicara hal aneh!”
Namun mulai hari itu, perubahan kecil terjadi antara mereka—tatapan lebih lama, senyum lebih sering, dan kekhawatiran yang terasa lebih dalam.
⸻
Musim berganti. Desa semakin kuat. Ladang panen dengan hasil melimpah. Rumah-rumah diperbaiki. Anak-anak mulai berlari kembali tanpa rasa takut. Warga kembali bekerja dengan tenang.
Tetapi meskipun desa telah kembali damai, setiap senja tiba Arkas tetap berdiri di pos penjagaannya.
Senja adalah waktu yang ia hormati. Waktu antara terang dan gelap, antara harapan dan ketakutan, antara hidup dan mati. Waktu itulah yang mengingatkannya pada apa yang pernah terjadi, dan apa yang pernah ia selamatkan.
Laras sering datang membawa makanan. Kadang hanya duduk di dekatnya. Kadang mengobrol. Kadang marah-marah karena Arkas lupa makan. Terkadang mereka hanya diam, memandang matahari tenggelam, merasakan kedamaian yang dulu hampir hilang.
Arkas tidak pernah merasa menjadi pahlawan.
Namun bagi seluruh warga, ia adalah alasan mereka bisa tidur dengan tenang.
Dan bagi Laras, ia lebih dari sekadar penjaga.
Ia adalah kekuatan yang ia yakini.
Ia adalah harapan yang ia banggakan.
Ia adalah seseorang yang ia percaya akan selalu pulang.
⸻
Tahun demi tahun berlalu. Desa Wanaraya berkembang menjadi desa yang makmur. Tembok pertahanan dibangun. Jalur perdagangan diperbaiki. Banyak orang baru datang untuk tinggal. Anak-anak yang dulu Arkas selamatkan tumbuh dewasa dan menghormatinya.
Arkas pun tumbuh menjadi sosok yang semakin matang. Tubuhnya lebih kuat, teknik bertarungnya lebih tajam, dan kewibawaannya tidak bisa dipertanyakan. Raja bahkan pernah menawarkan pos penjaga istana untuk kedua kalinya—dan ia tetap menolak.
“Tempatku di sini,” katanya. “Di desa ini.”
Di suatu sore, ketika senja kembali menurunkan cahaya keemasan di tanah Wanaraya, Arkas berdiri seperti biasa dengan pedang ayahnya yang sudah mulai usang.
Laras berdiri di sampingnya, kini dewasa, rambutnya diikat rapi, wajahnya damai.
“Kau tahu,” kata Laras, “dulu aku pikir kau akan pergi.”
“Pergi ke mana?”
“Ke kerajaan, ke tempat yang lebih besar. Tempat di mana semua orang akan tahu namamu.”
Arkas menatapnya. “Aku tidak butuh dunia mengetahui namaku.”
Laras tersenyum lembut. “Lalu apa yang kau butuhkan?”
Arkas menatap senja. “Aku hanya ingin melindungi tempat ini… dan orang-orang yang ada di dalamnya.”
Laras menatapnya lama. “Dan aku bersyukur kau memilih tinggal.”
Arkas memandang Laras, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasakan kedamaian penuh.
Senja melukis langit dengan warna jingga dan merah keemasan. Angin membawa aroma tanah basah. Desa Wanaraya berdiri damai di bawah cahaya itu.
Dan Arkas berdiri tegak, bukan lagi bocah yang ketakutan, bukan lagi penjaga yang merasa tidak cukup kuat. Ia kini seorang pahlawan yang tidak butuh gelar atau mahkota.
Ia adalah pelindung.
Ia adalah panah yang berdiri di garis depan.
Ia adalah seseorang yang menjaga batas antara terang dan gelap.
Ia adalah…
Sang Penjaga Senja.